SHOPPING TIME IN PASAR SUKOWATI

7 1 0
                                    


            Hari kembali berganti, hari ini adalah hari baru. Hari ketiga aku berada di Bali. Aku bangun dengan semangat yang kembali berlipat ganda. Aku kembali bergairah hari ini karena aku akan bertemu dengan mas El dan akan menelusuri kembali Bali dengan keindahannya bersama orang yang membuatku nyaman. Mas El, hmm namanya kini memiliki arti penting tersendiri di hatiku. Mas El seperti biasa menjemputku dengan tepat waktu. Hari ini dia juga terlihat lebih segar dan tampan, entah kenapa dia terlihat semakin tampan setiap harinya. Aku tidak merasa canggung lagi terhadap mas El. Tidak seperti saat kami pertama kali bertemu, sekarang aku merasa sangat dekat dengannya. Tiga hari kami bertemu, namun aku merasa sudah seperti bertahun-tahun lamanya kenal padanya. Sifat mas El yang bisa menyesuaikan berbagai keadaan membuatku merasa sangat nyaman bersamanya.

Hari ini kami memutuskan untuk pergi ke Pasar Sukowati, sedih rasanya jika mengingat bahwa ini adalah hari terakhirku berada di Bali bersama mas El. Karena besok pesawatku akan terbang dari bandara Ngurah Rai menuju Soekarno Hatta. Hmm, waktu memang terasa sangat cepat berlalu jika kita dalam kondisi senang. Namun jangan memikirkan itu untuk saat ini, karena aku hanya ingin menikmati momenku kini.

Mas El pun kembali melaju, kami sudah berdiskusi mengenai tempat yang kami tuju selanjutnya. Adalah pasar sukowati, sebuah pasar di Bali yang cukup terkenal sebagai pasar penjual beraneka souvenir yang menarik. Ini saatnya berbelanja, pikirku. Pasar sukowati berada di daerah Kabupaten Gianyar, Bali. Kami berangkat di pagi hari dan juga membutuhkan waktu kurang lebih satu jam menuju tempat ini jika berangkat dari Kuta. Aku dan mas El menikmati setiap perjalanan kami, sebelum sampai kesana kami melewati sebuah perkampungan dimana ada janur kuning disematkan dipinggir jalan. Sepanjang jalan itu aku bisa melihat janur kuning dimana-mana padahal tidak ada pernikahan. Ah, mungkin hanya adat didesa ini, pikirku.

Kami akhirnya sampai di pasar Sukowati, namun sebelumnya kami sempat tersesat karena google map. Ada dua nama pasar di google map, pasar sukawati dan pasar sukowati, aku pikir itu sama namun ternyata berbeda. Aku salah mengetikkan nama pasar sukawati sebelumnya, dan ternyata yang dimaksudkan mas El adalah pasar sukowati. Untungnya kedua pasar itu berlokasi tidak jauh satu sama lain.

Mas El memarkirkan motornya dan ia tanpa canggung lagi menggenggam jemariku dan membawaku berjalan bersamanya. Mas El bercerita bahwa di pasar ini terkenal dengan banyak souvenir khas Bali dengan harga yang terjangkau. Saat masuk pasar sukowati aku melihat sebuah patung Ganesha yang dipenuhi dengan banyak persembahan. Warga Bali sangat taat beribadah dan meletakkan persembahan setiap harinya. Pasar ini adalah sebuah pasar tradisional, dimana disetiap kanan dan kiri terdapat beberapa toko kecil dengan ukuran toko yang hampir sama. Banyak yang mereka jual disana, mulai dari beraneka macam model tas rotan bulat, kain bali, baju-baju bali, sepatu, pernak-pernik khas bali, kain sarung khas bali dan sebagainya. Mas El berjalan menyusuri sepanjang etalase toko. Ada banyak penjual yang menawarkan barang dagangannya kepada kami. Dan aku hanya mengikuti langkah mas El, sepertinya mas El lebih paham berbelanja dibanding aku.

Kami berhenti didepan sebuah toko yang memiliki stok barang yang lumayan banyak. Mas El ingin membeli kain sarung dan bertanya harga kepada penjualnya. Betapa terkejutnya kami ketika harga yang ditawarkan sangat jauh dari harga yang selayaknya. Mas El bilang kalau ingin belanja disini harus pintar menawar, karena mereka kenal siapa wisatawan dan siapa yang orang asli sekitar. Penjual bisa menjajakan barang dagangannya dengan harga beberapa kali lipat lebih besar untuk wisatawan. Aku mengangguk mengiyakan pernyataan mas El, untung mas El berada bersamaku karena aku sendiri tahu bahwa aku tidak ahli dalam hal tawar menawar.

Kembali ke cerita si penjual tadi, mas El mencoba melakukan tawar menawar padanya, namun mereka berdua tidak memiliki kesepakatan harga sehingga akhirnya mas El menarik tanganku untuk pindah ke toko lain. Aku melihat ke kanan dan ke kiri, sebenarnya hampir semua barang yang mereka jual sama, namun dengan model yang berbeda-beda. Kami masuk kedalam pasar dan mendapati ujung pasar, dimana tidak ada lagi penjual setelah itu. Mas El kembali mengajakku berhenti disebuah toko dimana ada seorang gadis muda yang menjaga toko itu. Mas El kembali bertanya berapa harga sarung Bali, dan dia menawarkan harga yang tidak jauh berbeda dari penjual yang pertama. Namun mas El tidak kehabisan cara, mas El sepertinya tahu bahwa penjual tersebut bisa berbahasa Jawa. Aku tidak tahu bagaimana awalnya hingga akhirnya mereka melakukan tawar menawar dengan bahasa Jawa yang aku pun kurang mengerti saat itu. Di akhir cerita nanti aku baru tahu bahwa penjual itu adalah warga Bali asli namun karena dia pedagang dia sedikit banyak mengerti dan bisa bahasa Jawa. Ternyata pedagang lain disana dapat menguasai berbagai bahasa seperti bahasa mandarin, bahasa inggris, dan sebagainya karena seringkali turis asing berbelanja disana. Jadi sedikit banyaknya mereka akhirnya terbiasa dan paham akan bahasa tersebut. Namun hanya kosakata yang biasanya digunakan di pasar.

Dalam beberapa waktu dan aku hanya bisa mengamati mereka berdua, terlihat akhirnya mas El memiliki kesepakatan dengan penjual tersebut. Mas El berhasil mendapatkan harga sesuai dengan yang dia inginkan, dan saat aku tahu penawaran mas El aku begitu terpelongo melihat kemampuannya. Sebuah sarung yang dihargai Rp 70.000 sebelumnya menjadi hanya Rp. 30.000 saja. Itu bahkan harganya berkurang hingga lebih dari seratus persen. Hebat bukan? Tidak hanya berhenti disitu saja, akhirnya kami memborong barang dagangan di tempat penjual itu. Mas El dan aku akhirnya membeli kain sarung, beberapa baju, daster, kain bali, tas dan barang lainnya disatu tempat. Dan kami mendapatkan harga yang luar biasa fantastis. Mas El benar-benar hebat dalam dunia tawar menawar. Mungkin itu juga berhubung karena mereka sama-sama merasa dekat karena bisa berbahasa Jawa. Mas El juga berlagak seperti bukan wisatawan, dan ia mengetahui harga pasar. Jadi penjual juga tidak berani menawarkan harga yang tinggi lagi kepada kami. Aku menambahkan poin lebih lagi kepada mas El, kemampuannya berbelanja bahkan melebihi kemampuan wanita sepertiku. Dia bisa diandalkan.

Setelah dihitung-hitung kami bisa menghemat sejumlah ratus ribuan setelah berbelanja disana. Saat kami pindah ke toko lain tidak ada yang memberikan harga semurah yang diberikan penjual tadi kepada kami. Bahkan hal terakhir yang aku beli adalah tas rotan bulat, yang dimana-mana ditawarkan dengan harga diatas 200an namun Mas El berhasil membelikannya cukup dengan Rp 70.000 untukku. Aku senang sekali, mas El benar-benar lelaki yang perfect.

Kami menutup hari berbelanja saat itu dengan pulang membawa belanjaan yang lumayan banyak. Sebelum kami benar-benar keluar dari pasar sukowati, aku merengek kepada mas El ingin membeli baju lagi yang ingin aku pakai setelah ini. Karena aku tahu kami memiliki perjalanan selanjutnya ke air terjun Tegenungan yang berjarak tidak jauh dari Pasar Sukowati. Aku kembali mengatakan kepada mas El alasan yang serupa, bahwa aku ingin berpakaian layaknya orang Bali juga. Mas El dengan mudah setuju dan akhirnya membelikan sebuah dress pink untukku. Aku masih memakai topi biru yang sama seperti saat aku berada di Tanah Lot dan Bedugul. Tidak apa, karena topinya juga masih bagus, umurnya baru sehari. Saat membeli dress itu, mas El juga membelikan dress yang sama kepada ibunya.

"Ini pertama kalinya aku membelikan baju yang sama untukmu dan ibuku dek" ucapnya depan raut wajah bahagia. Aku tersenyum turut bahagia mendengarnya. Akhirnya perburuan kami berakhir sampai disini. Aku dan mas El kembali menuju parkiran dan menuju ke lokasi selanjutnya. 

Menanti PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang