MEMORIKU

4 1 0
                                    


"Aku menangis karena aku sedih mas, aku sedih karena aku teringat kepada semua perjalanan hidupku hingga aku bisa berada disini." aku mengawali ceritaku.

"Apa yang terjadi dalam hidupmu dek? Mas ingin tahu" jawab mas El, dan responsnya sungguh sangat dewasa. Dia benar-benar terlihat sangat peduli. Aku pun semakin mantap ingin bercerita padanya.

"Dulu, aku hidup disebuah kota kecil bernama kota Padangsidimpuan. Aku hidup bahagia bersama keluargaku, bersama ayah, ibu, kedua kakak dan adik ku yang tampan. Kami bahagia mas, sangat bahagia. Ayah sangat menyayangi ibuku, dan beliau sangat bertanggung jawab kepada keluarganya. Kami tidak pernah merasa kekurangan suatu apapun saat ada ayah. Karena beliau selalu berusaha untuk mencukupi kami baik dari materi maupun kasih sayang. Beliau tidak hanya baik kepada ibu dan kami anak-anaknya, tapi beliau juga banyak membantu orang, utamanya membantu adik-adiknya juga. Aku ingat dulu saat masih kecil, aku dan saudaraku yang lainnya sering diajak ayah untuk makan bersama dan jalan-jalan keluarga disetiap hari minggu. Ayah juga selalu membawa makanan yang banyak dan hadiah jikalau beliau pulang bekerja. Ayah membuka usaha sebagai supplier barang domestik, yang didistribusikan ke kampung-kampung terpencil yang berjarak sekitar 4 hingga 8 jam dari kota kami. Karena tuntutan pekerjaan, ayah membagi waktunya dalam seminggu, senin hingga kamis ayah berada di kampung orang, dan kamis malam hingga minggu ayah akan berada dirumah. Namun walaupun ayah hanya berada 4 kali seminggu dirumah namun kami tidak pernah merasakan kurang kasih sayang dari ayah. Karena beliau selalu member kami kejutan, makanan yang banyak dan selalu menjaga keharmonisan keluarga. Ayah juga sangat memanjakan ibu, ayah selalu membantu ibu dalam pekerjaan rumah jika ayah sedang dirumah. Dan sungguh, aku merasa menjadi anak yang paling beruntung saat itu. Tidak ada kesedihan yang mampu mengusikku karena Alhamdulillah keluargaku sangat lengkap." aku tersenyum, membayangkan masa bahagia keluargaku saat itu, membayangkan senyuman ayahku yang terasa begitu nyaman dan menenangkan hati. Ah, aku sangat rindu ayah. Aku kembali menangis, tidak bisa menghentikan desakan air mataku yang kembali muncul. Mas El diam, tidak berkata apa-apa. Dia sibuk memandangiku dan berusaha masuk kedalam ceritaku, mencoba menyesap setiap perasaan yang aku rasakan saat ini. Aku menghirup napas panjang dan kembali melanjutkan ceritaku.

"Dan semua kesedihan ini berawal dikala aku kehilangan ayahku. Ayah meninggal dunia saat aku masih SMP kelas dua. Meninggalkan adikku yang waktu itu masih SD kelas dua. Kakakku yang pertama masih SMA, dan yang kedua juga SMK.. Ibu begitu panik, dan aku masih ingat saat itu tatkala ibu datang kesekolah dan menjemputku yang sedang belajar dikelas. Wali kelasku bilang aku harus pulang sekarang juga, memasukkan barang-barangku kedalam tas dan mengikutnya ke kantor. Aku masih belum tahu saat itu kalau ibu sudah berada di kantor. Aku baru merasakan perasaan buruk ketika kakiku mulai semakin dekat ke kantor, dan aku bisa mendengar suara isak ibu dari dalam kantor. Jantungku langsung berdetak kencang namun aku belum tahu apa yang terjadi. Aku bertemu ibuku dan aku sangat ingat matanya yang merah dan wajahnya yang ketakutan melihatku. Dia mengulurkan tangannya padaku dan berkata.

"Ayahmu nak...ayahmu ada dirumah sakit sekarang. Di ruang UGD Panyabungan. Kita harus segera kesana" ucap ibuku terbata disela isak tangisnya. Aku syock, sangat terkejut mendengar berita itu. Namun aku masih sangat bingung, kenapa ayah ada dirumah sakit? Bukannya tadi pagi ayah barusan berangkat kerja, mengendari mobilnya seperti biasa dan ia terlihat sangat sehat. Ayah tidak pernah mengeluh sakit dan kami semua tahu ayah tidak punya riwayat penyakit. Lalu mengapa tiba-tiba ada kabar bahwa ayah dirumah sakit? Apa yang terjadi? Kepalaku seperti dihantam sebuah palu. Ditambah lagi mendengar isak tangis ibuku yang semakin keras, membuatku hanya bisa terpaku dan aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Aku diam saja,mematung, bahkan tidak tahu apakah harus mempercayai semua ini. Dan ibuku menarik lenganku mengajakku pergi. Aku masih bisa mendengar suara guru-guruku yang mencoba menyabarkanku dan ibu. Namun aku merasa waktu seolah berhenti berputar saat itu. Singkat cerita kami pergi ke Panyabungan yang berjarak sekitar 2 jam dari tempat kami. Dan saat kami sampai disana, pamanku langsung meronta menangis-nangis. Mengatakan bahwa dia akan menjadi ayah kami selanjutnya. Hatiku terasa semakin tidak enak, dan aku masih belum mengerti apa yang dia katakan. Kami memasuki ruangan yang penuh dengan bau alkohol dan tabung oksigen. Semua dinding dicat putih dan ada sebuah ranjang disana. Aku masuk kedalam, mengikuti langkah ibuku. Seorang dokter yang berdiri didepan ranjang itu memberitahu ibu sesuatu yang tidak bisa kudengar karena dia berbisik pelan. Namun aku bisa melihat tangis ibu yang pecah kala itu. Aku yang tubuhnya masih kecil mencoba melihat seseorang yang sedang tidur diatas ranjang itu. Dan itu adalah ayahku. Tangannya sudah diikat dengan seutas kain putih dan matanya tertutup. Hidungnya yang mancung dan kumisnya yang tebal terlihat tidak bergerak, bibirnya sangat pucat. Jantungku serasa berhenti berdetak, walaupun aku masih belum tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi. Tapi melihat ayahku dalam kondisi seperti itu aku merasa bagai beribu jarum menusuk tulang-tulangku. Aku lemas, aku menutup mulutku. Dan tanpa isak aku pun menangis, mengapa mereka mengikat tangan ayahku? Mengapa ayahku diam saja saat mendengar kami semua sudah datang? Apa yang dikatakan dokter itu? Mengapa mereka semua menangis? Sesaat setelah itu ibu mengisyaratkan kami anaknya satu persatu untuk mendekat ke ranjang ayah. Aku takut, sangat takut. Kenapa dengan ayahku? Aku lalu mendekat, dan ibu mengatakan sesuatu yang seolah menghentikan detak jantungku saat itu.

Menanti PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang