PENUTUP SENJA

6 1 0
                                    


"Bahwa Allah tidak membiarkanku untuk meninggalkan mimpiku begitu saja. Saat setelah aku lulus SMA, aku bekerja selama sebulan disebuah pabrik botol minuman. Aku digaji Rp 20.000 perharinya, dengan jam kerja mulai dari jam 7 pagi hingga jam 6 sore. Begitu menyedihkan karena aku harus bekerja cepat melawan mesin. Aku dan pekerja lainnya harus memasukkan botol minuman kemasan kedalam kardus sesaat setelah mesin berhasil memprosesnya. Jika pekerjaan lambat, maka botol-botol itu akan menumpuk dan bos bisa marah jika melihatnya. Seringkali jari-jariku terluka akibat tergores tutup botol minuman kemasan yang cukup tajam. Aku semakin merasa tidak punya harapan, sementara banyak temanku menyiapkan diri mereka untuk masuk perguruan tinggi dan aku harus mendekam dan bekerja keras hanya untuk uang Rp 20.000 per hari. Seringkali aku menangis mas, karena pekerjaan buruh itu sangat melelahkan. Aku bahkan seringkali sholat dengan terburu-buru karena aku tidak punya banyak waktu istirahat. Suatu hari aku pulang kerumah, dan aku mendapat pesan masuk dari kakak kelasku yang membuatku sangat terkejut. Dia menyuruhku untuk membuka akun pendaftaran perguruan tinggi, apakah aku lulus atau tidak. Oh ya, walaupun aku hopeless, tapi tetap saja saat itu sebelum kami lulus, sekolah menginstruksikan semua muridnya untuk ikut mendaftar jalur snmptn masuk PTN. Jalur SNMPTN itu adalah jalur undangan masuk ke perguruan tinggi negeri. Sekolah akan mengirimkan nilai, dan PTN akan mempertimbangkan murid SMA bisa lulus seleksi PTN dengan nilai dan prestasi yang diraihnya selama SMA. Aku pun ikut didaftarkan snmptn. Ada seorang kakak kelas bernama Kak Araf, yang selalu mendukungku. Dia bilang aku pasti lulus, dan masalah uang aku tak perlu khawatir. Karena dia bilang saat kuliah akan ada banyak jalur beasiswa terbuka lebar apalagi untuk murid sepertiku. Dia selalu berusaha memotivasiku, tapi seberapa hebatnya pun dia percaya padaku aku masih saja tetap merasa tidak punya harapan. Dan malam itu kakak kelas ku terus mendesakku. Dengan berbaring dan masih lelah karena bekerja aku pun membuka website kelulusan snmptn ku. Betapa terkejutnya aku mas, ketika aku mendapati bahwa aku lulus. Aku lulus di Perguruan Tinggi Negeri terbesar di ibukota Provinsi. Aku benar-benar melonjak kegirangan. Namun itu hanya sesaat, hingga aku tersadar kembali bahwa tidak ada gunanya lulus karena toh aku pun tidak akan bisa masuk kuliah. Bagaimana bisa ke ibukota provinsi, ongkos kesana pasti mahal, belum biaya hidup, belum biaya kuliah. Kepalaku benar-benar pusing".

"Apa sekolah tidak melakukan sesuatu untuk membantumu?"

"Tidak mas. Sekolah saat itu tidak melakukan apa-apa. Tapi saat itu aku diberitahu bahwa hanya aku satu-satunya siswi dari sekolah kami yang lulus jalur snmptn masuk ke PTN itu. Aku katakan pada mereka bahwa aku tidak akan pergi kesana, namun mereka memberiku ultimatum yang sangat memberatkanku. Jika aku menolak jalur undangan itu maka sekolah kami akan di blacklist tidak bisa ikut jalur undangan selama beberapa tahun kedepan. Aku semakin pusing dengan ultimatum itu. Akhirnya pihak sekolah mengatakan bahwa apapun yang terjadi aku harus tetap ke ibukota provinsi untuk melakukan daftar ulang, mereka terus menyemangatiku. Aku pulang dengan lemas mas, namun tetap saja pikiranku buntu. Tidak ada bantuan, bagaimana aku pergi tanpa uang? Mereka bisa mengatakan semudah itu, namun apa yang harus aku lakukan? Aku kembali bekerja keesokan harinya, dengan mata berkaca-kaca menahan tangis. Sesak hatiku mengetahui bahwa aku murid yang dinyatakan lulus satu-satunya melewati jalur undangan masuk PTN yang diimpikan banyak orang. Dan aku kemungkinan besar tidak bisa daftar ulang hanya karena masalah uang. Apakah sesakit itu rasanya mengubur mimpi? Aku pun tidak bisa lagi menahan airmataku yang mendesak, aku tumpahkan semua. Aku berusaha menunduk dan menahan isakku agar tidak ada yang bisa mendengarku. Beberapa saat setelah itu hp ku bordering, aku tidak ingin mengangkatnya namun hp ku bordering beberapa kali hingga akhirnya aku mengambil tas dan merogoh hp ku dari dalam. Ada nomor baru disana, kuseka air mataku dan kutarik napas panjang.

"Halo" tanyaku,

"Halo. Selamat siang, mbak ini dari Mbak Munnal, editor dari penerbit Rizki. Saya telah mengirim email hasil seleksi naskah mbak, mohon dicek dan dibaca ketentuan kerjasamanya. Saya tunggu kabar secepatnya dari mbak ya." ucap suara lembut itu, dan hatiku berdetak lebih cepat. Aku memutar otak, mengingat penerbit Rizki. Yah, sekitar dua minggu lalu aku mengirimkan naskah pertamaku ke penerbit ini. Dan itu hanya secara iseng untuk mengisi waktu luangku. Aku menulis naskah itu dalam kurun waktu satu minggu lebih, karena bagiku hanya menulis cara yang paling tepat untuk meluapkan perasaanku saat itu. Dan ketika aku mengirimnya ke penerbit juga aku tidak menyangka bahwa naskah itu akan dikonfirmasi secepat ini. Wanita itu lalu menutup teleponnya dan aku segera membuka emailku. Betapa bersyukurnya aku mas, karena ternyata naskahku lulus seleksi dan diterima oleh penerbit. Mereka akan membayar uang muka di awal untukku dalam beberapa hari kedepan jika aku bersedia bekerjasama dengan mereka. Disitulah aku merasa bahwa Allah itu sangat dekat mas, sangat dekat. Allah mendengar semua kesedihan dan jeritan hatiku dan Allah tidak tidur. Allah ternyata tahu bahwa aku membutuhkan pertolonganNya dan dengan cara yang luar biasa dan diluar dugaan akhirnya aku mendapatkan sejumlah uang untuk bisa pergi ke ibukota provinsi dan mendaftar ulang disana. Di luar dugaan pula, ternyata saat daftar ulang aku diberitahu bahwa uang pembangunan kuliah sudah dihapuskan. Jika ingin masuk bisa langsung membayarkan uang semester yang jumlahnya hanya seperempat dari uang yang aku dapatkan dari naskahku. Fix, aku akhirnya bisa masuk kuliah dan membayar uang semester pertamaku dengan hasil tulisanku itu. Dan semangat ku mulai tumbuh kembali, aku mulai percaya bahwa tidak ada yang mustahil untuk sebuah mimpi. Aku mulai membangun mimpiku lagi." Aku menutup ceritaku dan tersenyum, melihat kedepan dengan mata berkaca-kaca. Aku ingat masa-masa itu, masa penuh perjuangan dan kesakitan. Bahkan aku ingat rasanya berjalan kaki lebih dari 4 km hanya untuk menuju fakultasku, sepatuku rusak ditengah jalan hingga aku dipinjamkan sepatu oleh senior, dan masih banyak lagi. Oh, sekarang itu semua menjadi sebuah memori yang tak terlupakan.

"Alhamdulillah, mas sangat senang sekali mendengarnya dek. Kau benar, bahwa Allah sangat dekat dengan kita selama kita percaya dan berdoa kepadaNya, Allah pasti akan memberikan yang terbaik untuk kita. Tapi dek, bagaimana dengan Antoni yang tadi kau bilang ingin menikah denganmu dan orangtuamu sudah setuju?" tanya mas El penasaran.

"Oh iya benar mas. Aku hampir lupa. Antoni mengetahui bahwa aku telah daftar ulang di perguruan tinggi negeri tempat aku diterima. Dia tidak setuju dengan keputusanku, tentu saja dia tidak setuju karena aku akan menetap di Sumatera, sedangkan dia ingin membawaku ke Yogyakarta. Namun aku tetap bersikeras ingin kuliah karena aku juga sudah diberikan rezeki untuk kuliah. Walaupun aku masih tetap saja bingung bagaimana kedepannya, tapi aku percaya Allah pasti akan selalu membantuku. Karena kekecewaan Antoni, dia akhirnya pergi dari kota kecil kami dan kembali ke Yogyakarta sendirian. Aku tidak jadi menikah dengannya, karena kurasa Allah telah memilihkan jalanku untuk kuliah saja dan melanjutkan pendidikanku." ucapku dengan tenang. Sekarang aku sudah tidak menangis lagi.

"Hmm, baguslah. Karena jikalau dia berhasil menikahimu saat itu tentunya kita tidak akan bersama saat ini, hehehe" ucap Mas El berusaha mencairkan suasana. Aku tersenyum, melihat dirinya yang juga tertawa kecil. Sesaat kami hanya tertawa dan terdiam memandang gelap malam.

"Mas, Terimakasih sudah mendengarkanku. Masih panjang sekali cerita ini, tapi jika aku lanjutkan maka kita bisa saja beku kedinginan disini. Mas benar, kita harus segera pergi dari sini" ucapku. Sekarang aku sudah merasa lega dan tenang.

"Yah benar. Mas setuju" Mas El dengan sigap langsung berdiri dan mengulurkan tangannya padaku. Tangan yang terlihat kuat dan siap menolongku untuk berdiri. Aku melihat matanya sejenak, melihat tatapannya yang begitu hangah. Ah,mas El disaat senja maupun gelapdia tetap terasa hangat. Aku meraih tangannya dan berdiri disampingnya. Lalu dia menggenggam jemariku dan tersenyum padaku.

"Apa kau keberatan?" tanyanya. Aku menggeleng, tersenyum dan meunduk sedikit malu.

"Tidak" ucapku pelan. Dan kami berjalan menjauhi tepi pantai yang semakin gelap. Kuta dalam balutan sunset berakhir disini, dan kami masih punya perjalanan panjang di Bali. Masih ada banyak waktu yang bisa aku lalui bersama mas El, dan aku merasa sangat bersyukur untuk hal itu. Sejenak hp ku bordering-dering, aku tahu kemungkinan besar itu dari Emir karena aku tidak mengabarinya dari siang. Tapi aku tidak peduli, aku sedang tidak ingin diganggu. Ini liburanku, dan biarkan aku menikmatinya. 

Menanti PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang