Maukah Kau Menikah Denganku?

43 2 2
                                    


Aku berencana untuk ke Bali tanggal 05 Oktober 2019. Aku memutuskan untuk pergi sendiri dari Jakarta dan sudah memesan tiketku. Bali adalah salah satu impianku sejak aku kuliah dulu. Aku selalu bercita-cita ingin pergi kesana dan aku harap aku bisa segera mewujudkannya. Dengan tekad penuh aku memberanikan diri untuk terbang ke Bali sendirian, aku sudah mengajak beberapa temanku sebelumnya namun mereka tidak ingin pergi ke Bali. Banyak alasan, mulai dari dana yang kurang hingga hari libur yang tidak cukup dan masih banyak lagi. Akhirnya tanpa menunggu siapapun aku tidak takut pergi traveling sendirian. Bukankah ke Yogya dan Solo sebelumnya aku sendirian? Jadi untuk apa takut ke Bali sendirian? Pikirku.

Aku mengutak-atik hp ku malam itu, tidak ada kerjaan. Aku pun membuka whatsapp, sepi dan tidak ada yang mengirimiku pesan. Tidak bahkan dari Emir sendiri. Ah mungkin dia sedang sibuk, pikirku. Aku pun hanya bisa mencsroll pesan-pesan whatsapp ku kebawah, membaca-baca siapa saja yang sudah kuhubungi beberapa bulan terakhir ini. Dan saat tiba di nama Penggemar Buku Pencak Silat perhatianku tertuju ke nama itu. Aku pun membuka pesan itu dan membacanya ulang. Dia yang menanyakanku dengan siapa saat itu. Hmm, hanya sekedar itu percakapannya. Namun oh ya! Aku ingat, bukankah dia tinggal di Malang? Sepertinya iya. Dan sepertinya Malang itu cukup dekat dengan Bali. Aku pun menemukan sebuah ide.

Aku berencana untuk menghubunginya. Siapa tahu dia bisa membantu saat aku di Bali, pikirku. Yah, walaupun aku merasa berani dengan traveling sendirian tapi aku juga tidak seberani itu. Jika memang ada kesempatan untuk memiliki teman yang bisa membantu saat disana, kenapa tidak? Bukankah dulu aku juga pernah menolong tentang skripsinya? Mungkin saja saat ini dia mau menolongku, pikirku. Tanpa pikir panjang akupun mulai mengetikkan pesan di layar hp ku.

"Mas, masih di Malang?' tanyaku, dan pesan itu terkirim cepat sesaat aku klik tanda panah di sudut hp ku. Ceklis dua, berarti whatsapp nya masih aktif. Aku menunggunya membaca pesan itu. Tidak lama hp ku bordering, ada pesan masuk darinya.

"Masih mbak" jawabnya. Dan aku merasa lega saat itu. Tanpa basa-basi yang panjang aku pun mengutarakan niatku ingin ke Bali saat itu. Aku bilang bahwa aku akan pergi sendirian, dan bertanya padanya apakah dia pernah ke Bali sebelumnya. Mas El bilang kalau dulu dia pernah ke Bali, dan dia juga sebenarnya berencana untuk pergi ke Bali.Aku merasa memiliki tujuan yang sama dengannya., hingga akhirnya kami berbicara lebih panjang mengenai rencana pergi ke Bali. Entah kenapa, dengan cepat keputusan itu akhirnya terwujud. Mas El benar-benar memutuskan untuk pergi ke Bali dan kami bisa bertemu disana. Dia akan naik travel dari Malang ke Bali. Yes, akhirnya aku punya teman yang bisa membantuku disana, pikirku. Setidaknya aku tidak sendirian.

Setelah itu aku dan Mas El pun lebih sering berkomunikasi. Awalnya adalah membahas tentang perjalanan ke Bali, hingga akhirnya mulai menceritakan hal-hal yang lain. Mas El banyak mengajariku tentang banyak hal, utamanya mengenai ilmu tentang agama yang lebih dalam. Aku yang banyak sekali tidak paham mendapatkan pengetahuan baru darinya. Aku mulai mengenalnya lebih dalam lagi, dan mulai merasa nyaman berkomunikasi dengannya. Sesekali kami pun melakukan panggilan via telepon, dan pernah Mas El meminta untuk video call namun aku belum siap saat itu. Bukan apa-apa, aku memang tidak mau video call dengan orang yang belum pernah aku temui sebelumnya.

Mas El dan aku memiliki beberapa persamaan dan perbedaan.Perbedaan mencolok diantara kami berdua adalah background kami dalam dunia pendidikan. Aku tumbuh dan besar dalam sekolah umum, sekolah-sekolah negeri, sedangkan Mas El tumbuh dan besar dalam dunia keagamaan. Jadi kami sering melihat sesuatu dengan sudut pandang yang berbeda. Sedangkan persamaan paling mencolok kami adalah kami sama-sama pintar dalam hal berdiskusi dan berbagi ilmu, dan kami nyambung. Mas El orang yang terbuka dan kritis, dia juga rendah hati dan tidak fanatik. Itu yang kusuka darinya. Dia mau berbagi ilmu tanpa menjudge orang lain, walau dia tahu ada banyak yang salah dalam hidupku namun dia tidak langsung menyalahkan dan menyudutkanku. Dia mampu membuatku berpikir secara logika dan memutuskan sendiri apakah yang aku pikir dan perbuat itu salah atau tidak. Aku pun mulai tertarik padanya.

Menanti PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang