O2 / Salam

108 16 1
                                        

"Galau..."

"Kenapa sih? Ditinggalin gebetan aja kayak dicerein suami." Desisku, lalu menatap tajam wajah Doyeon.

Doyeon mempout. "Huh, tapi—"

"Ya, oke. Aku paham."

"Lo kan nggak pernah demen orang, La?" Sungut Doyeon, lalu dia melipat tangannya diatas meja dan tidur.

Nyatanya benar. Aku jarang sekali menyukai laki-laki. Terakhir menyukai seseorang saat SD kelas 4. Itu juga masih kecil. Jadi, tidak mengerti arti cinta yang sesungguhnya.

"Aaahh, pokoknya galau!!!" Doyeon memukul-mukul meja. Aish, tidak waras.

"Lucas juga nggak peduli kamu galau, Yeon." Ujarku.

Tiba-tiba saat aku menghadap ke jendela dekat pintu, Jeno lewat. Parasnya yang tampan, dan hidung mancungnya menggoyangkan jiwa ragaku. Aku tersenyum. Jeno sudah tumbuh besar.

"Astaga..." Bisa gila aku. Frustasi. Jeno... haduh.

Biasanya, ketika aku mendapat inspirasi. Aku langsung membuka buku harianku untuk menulis sajak. Tapi kayaknya tidak untuk sekarang. Aku sudah terpaku dengan ketampanan yang Jeno punya.

Tidak, Langit. Jangan bucin dong.

"La, kuy," Doyeon langsung menarik tanganku. "Kita ke perpus."

Oh ya, aku lupa memperkenalkan Doyeon. Dia teman dekatku. Masuk SMA, dan saat pembagian kelas, aku dapat sekelas dengannya. Lalu kami memutuskan untuk berteman sampai sekarang.

Saat dijalan menuju perpus, aku papasan dengan Jeno dan temannya, Renjun. Saat itu juga aku merasakan hangatnya pipiku. Jangan-jangan pipiku memerah? Masalahnya Jeno menatapku juga. Padahal dengan tatapan biasa. Tapi mengapa aku sampai salah tingkah.

"Eh, Jeno," Doyeon memberhentikan langkahnya. Lalu membalik badan. Jeno pun begitu. "Disalamin sama Langit. HAHAHAHAHA KABUUUURRRRR~~" Doyeon pergi begitu saja.



Apa yang dikatakan Doyeon barusan?


Langit... Eh—aku dong?

LAH DOYEON!!!!





Kulihat Jeno tersenyum padaku. "Waalaikumussalam. Disalamin balik, Kak."

Jeno, 2020 ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang