11 / Terobati

58 12 0
                                    

Kali ini, aku kesal sekali dengan seluruh teman kelasanku. Menurutku, bercandaan mereka sangat norak. Aku nggak suka. Cara yang mereka pakai selalu salah.

Titik terlemahku adalah kacamataku. Jika kacamataku tersenggol sedikit, aku akan marah. Cukup lebay, namun berakibat fatal.

Aku minus 5,75, sungguh. Dan aku pernah diberi tahu. Kalau lensa di atas minus 5, susah dicari. Makanya aku jaga betul kacamata ini.

Lukisan kanvas yang ada di dining tiba-tiba terlempar kearahku, dan menyenggol kacamatku lumayan keras.

"Eh, sorry, La. Gue nggak sengaja." Ucap Rocky. Aku marah.

Kuambil paksa lukisan kanvas itu di tangan Rocky secara paksa. Ia sudah memohon. Aku tetap aku. Kemudian lukisan kanvas itu kupukul kekepalanya hingga robek dan kayunya patah. Berkali-kali hingga hampir ia menangis. Sepertinya memang sakit. Tanganku juga sepertinya memar.

Yang nyebelinnya teman-teman Rocky juga mengompor.

"Emang ya, barang jelek, sensitive." Celetuk Dejun.

Aku semakin marah. Mereka secara tidak langsung menghinaku jelek, 'kan?

Aku marah bukan karena mereka menghinaku jelek. Aku tau diri, aku jelek, aku berkacamata, aku bodoh, aku jauh dari kata sempurna.

Memang pantas mereka menghinaku.

"Udah, La. Udah. Stop." Mark menahanku.

Kringg~

"Oke, ayo balik." Tambah Mark sembari merangkulku dan Doyeon secara bersamaan.

Saat di lobby, aku bertemu Jeno, Jaemin, Renjun, dan Haechan. Tak lupa Mark menyapa mereka. Otomatis aku berhenti di sebelah Jeno.

Jantungku, jantungku... Oh Tuhan.

Sesekali kurasakan Jeno melirikku.

Nggak apa udah mukul orang dan marah-marah, mood ku membaik karena sudah ada Jeno.

Jeno, 2020 ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang