ABDUCTION

34 8 2
                                    

1

Saat aku membuka mata, pandanganku langsung tertumbuk oleh cahaya putih. Membuatku silau dan secara refleks menghalangi cahaya tersebut dengan tanganku. Biasanya sebelum aku tidur, aku selalu mematikan lampu. Hampir tidak pernah sekalipun aku tertidur dengan lampu yang masih menyala.

Apabila aku terbangun dengan lampu menyala, maka ada dua kemungkinan. Pertama, aku tidak berada di kamarku sendiri dan kemungkinan kedua, seseorang selain aku yang menyalakannya. Namun kemungkinan keduanya sangatlah nihil, sebab aku tinggal sendirian.

Setelah mulai terbiasa dengan cahaya yang silau, aku memandang sekitarku.

Tidak ada meja belajar yang sering aku hentak ketika materi kuliah sulit aku cerna walaupun sudah berkali-kali aku baca. Tidak ada cermin kecil yang digantung menggunakan paku di balik pintu, cermin yang sering aku gunakan hanya untuk merapikan rambut saja. Aku tidak terbiasa berlama-lama memandang cermin dan melihat pantulan wajahku sendiri. Dan di mana ranjang yang sering berdenyit setiap kali aku mengubah posisi tidur? Sekarang jelas kalau aku tidak berada di kamarku.

Aku mencoba mengingat apa yang aku lakukan malam tadi, setelah pergi makan bersama teman, aku langsung pulang mengganti pakaianku dan langsung tidur. Iya, begitulah yang aku ingat. Aku mencoba untuk bangun, ternyata aku dari tadi tertidur di lantai. Pantas badanku sakit semua.

Apa yang ada di hadapanku adalah hal yang tidak pernah aku lihat seumur hidupku, sebuah ruangan yang cukup besar dengan dominasi warna putih dan silver. Dan aku tepat berada di tengah ruangan tersebut. Aku berdiri dan menyadari kalau pakaian yang aku kenakan sekarang berbeda dengan yang aku pakai sebelum tidur. Sekarang aku memakai pakaian serba putih namun tidak memakai alas kaki. Harus aku akui kalau pakaian ini cukup nyaman.

"Halo, apa ada orang?" Tidak ada yang menyahut. Berkali-kali aku memanggil namun hanya berbalas gema. Aku berkeliling dan memeriksa tempat tersebut. Mungkin ada sesuatu atau tombol atau juga petunjuk yang dapat memberitahukan di mana aku berada. Setelah berjam-jam berkeliling, aku akhirnya mendapatkan suatu kesimpulan.

Aku dikurung.

Entah apa yang membuat diriku gusar, kenyataan kalau aku dikurung di ruangan antah berantah atau reaksi diriku sendiri yang tenang seakan kejadian ini tidaklah aneh ataupun ganjil.

Karena kelelahan dan tidak tahu harus melakukan apa akhirnya aku tertidur.

2

Aku bangun untuk yang kedua kalinya. Namun kali ini berbeda, sebab di hadapanku kini ada sebuah roti isi dan segelas susu cokelat. Tanpa berpikir dua kali, aku langsung menyambarnya. Bisa dibilang itu adalah roti isi terenak yang pernah aku makan. Dalam hitungan menit makanan itu lenyap masuk ke dalam perutku.

Setelah aku selesai menghabiskan makananku, aku mendengar suara seperti gas yang keluar dari ban yang bocor. Aku menoleh pada arah bunyi tersebut, pada dinding yang awalnya tidak terdapat apa-apa muncul semacam garis berbentuk segiempat seukuran lemari pakaian. Lalu dinding di dalam garis itu secara perlahan mulai condong ke dalam hingga menciptakan sebuah rongga. Dan dinding yang ke dalam tersebut naik ke atas lalu menghilang layaknya elevator.

Sekarang, pada dinding yang hilang terdapat sebuah lorong gelap yang entah menuju ke mana. Apa aku berani untuk masuk ke dalam sana? Mungkin saja. Bila seandainya setelah berjam-jam tidak terjadi apapun mungkin aku akan masuk ke lorong gelap tersebut. Karena siapapun yang melakukan ini seakan berkata. "Hei, aku sudah membukakan pintu untukmu. Mengapa kau masih diam saja?"

Namun pada akhirnya aku tidak masuk ke dalam lorong tersebut, atau belum lebih tepatnya. Karena ada dua sosok yang muncul dari lorong. Memiliki postur tubuh yang besar dan tinggi, ketika aku bilang tinggi. Percayalah padaku, kalau mereka tinggi sekali. Mungkin lebih tinggi daripada sebuah rumah. Kepala mereka botak dan memiliki kulit seputih kapur, rahang mereka juga sangat tegas. Kemunculan mereka membuat lututku menjadi lemas, untuk pertama kalinnya semenjak aku berada di sini. Aku merasakan takut.

A Bed Time StoriesWhere stories live. Discover now