A Small Child

34 8 1
                                    


            Sudah lama aku tidak bertemu dengan mereka, teman-teman semasa kecilku. Bukan suatu kebetulan kami berkumpul kembali, Yana yaitu perempuan paling tomboi di pertemanan ini akan melaksanakan pernikahannya besok. Dia mengundang kami semua, dan acara pernikahannya dilaksanakan di kampung ini, tempat Ayah dan Ibu Yana tinggal. Di kampung inilah kami menghabiskan masa kecil kami, yang bisa dibilang cukup bahagia. Para penduduknya ramah dan sopan.

Sungainya juga bersih, pohon-pohonnya pun rindang dan ditumbuhi dengan berbagai macam buah. Sewaktu kami kecil, apabila kami semua kelelahan maka kami akan beristirahat di pinggir sungai atau di bawah pepohonan sambil memakan buah yang kami petik. Di antara kami berlima, Hendra lah yang paling jago memanjat. Bila dibandingkan dengannya, aku sangatlah lemah dan tidak kuat berlari jauh.

"Ini makanlah." Yana meletakkan pisang goreng di tengah meja.

Aku dan teman-teman dengan sigap mengambil pisang goreng, kecuali Isna yang katanya sedang dalam program menurunkan berat badan, yang menurutku tidak ia perlukan sebab badannya terlihat cukup ideal bagiku.

"Selamat ya Yana. Aku tidak menyangka pada akhirnya kau akan menikah." Canda Murni.

"Apa maksudmu?" Yana pura-pura tersinggung

"Penampilanmu dulu kan terlihat seperti anak laki-laki. Rambut pendek, kulit hitam terbakar matahari, dan jago berkelahi. Sampai semua anak laki-laki dari kampung sebelah menjulukimu preman kampung." Kata Murni.

"Wah iya benar." Timpal Hendra. "Dulu kau mengalahkanku dalam lomba lari, aku bahkan tidak percaya ketika kau berkata kalau kau adalah perempuan."

"Kau terlalu melebih-lebihkan, aku tiga tahun lebih tua darimu dan kau lebih pendek daripada aku, makanya aku bisa menang saat itu." Kata Yana.

"Namun tetap saja..." Hendra menggigit pisang gorengnya. "Kau yakin tidak ingin makan pisang goreng ini?" Hendra mencoba untuk menawari Isna.

"Tidak, aku minum kopi saja." Isna menyesap kopi hitamnya. Aku melihat Isna nampak sedikit mengernyit, mungkin kopinya terlalu pahit.

"Hei Anton." Murni memanggilku. "Kenapa istri dan anakmu tidak ikut ke sini, kan aku ingin bertemu dengan mereka. Hebat juga ya kamu bisa dapat bule."

"Mereka sedang liburan di rumah mertuaku di New York, aku masih di Indonesia karena ada pekerjaan yang belum selesai kukerjakan. Rencananya minggu depan aku akan ke sana." Kataku sambil mengusap-usap cincin pemberian ayahku. Mengusap cincin mulai menjadi kebiasaan sejak cincin ini diwariskan padaku.

"Beruntung sekali, aku juga ingin punya istri bule." Sahut Hendra.

"Ssstt jangan sampai istrimu mendengar." Kata Yana.

"Bercanda saja... untung istriku sedang tertidur." Hendra tertawa terbahak-bahak.

Di tengah obrolan kami yang seru, datanglah seorang anak kecil berumur sekitar enam tahun, dia langsung mendatangi Hendra. "Ayah aku ingin main di luar ya." Anak kecil itu memohon.

"Iya baiklah, tapi kalau sudah senja cepat masuk ke dalam ya."

"Siap!" Anak kecil itu memberi salam hormat. "Riski akan kembali sebelum senja." Anak kecil itu langsung bergegas lari keluar.

"Dia seperti dirimu waktu kecil Hendra." Celetuk Isna. "Penuh dengan semangat dan tidak pernah lelah. Bahkan ketika kita semua sudah pulang sewaktu senja, kau masih asyik bermain sendiri."
"Sendiri?" Tanya Hendra. "Aku tidak pernah main sendirian."

A Bed Time StoriesWhere stories live. Discover now