Lamia (Part 1)

42 7 0
                                    

Seperti biasa, ketika sore hari menjelang dan udara mulai menyejuk. Pria berumur 49 tahun tersebut membuat segelas teh hangat dengan 1 sendok gula, tidak lebih juga tidak kurang. Selalu seperti itu semenjak ia hidup sendirian, ia tidak terlalu suka dengan teh yang dingin ataupun terlalu panas. Menurutnya hangat adalah suhu yang pas, rasa teh tetap terjaga di suhu tersbut. Namun hari ini berbeda, ia harus membuat 2 gelas teh. Satu untuknya dan satu lagi untuk perempuan yang sedang duduk di ruang tamu. Ia tahu bagaimana teh yang pas untuk dirinya sendiri, masalahnya adalah bagaimana dengan selera perempuan tersebut, apakah dia suka teh yang manis atau yang hambar. Maka dari itu ia tidak memasukkan gula ke teh perempuan itu, dan ia menyajikan teh di atas nampan beserta gula di sampingnya. Biar perempuan itu yang menentukan sendiri.

"Rumah yang nyaman Tn. Dayat." Kata perempuan tersebut.

"Aku merawatnya sendiri sejak orangtua ku sudah tidak ada, bagaimana pun hanya rumah inilah peninggalan dan kenang-kenangan dari mereka." Kesedihan nampak dari ucapan Tn. Dayat. "Maaf—siapa namamu tadi?"

"Sheila Azizah. Bapak bisa memanggil saya Sheila—apakah tidak apa-apa bila saya meinterview anda?"

"Hahaha.. tidak apa, kau sudah jauh-jauh datang kemari, tidak mungkin aku mengusirmu. Kalau boleh tahu darimana kau bisa mengetahui tempat aku tinggal. Sudah lama aku tidak punya tamu yang datang dari jauh." Tanya Tn. Dayat penuh dengan rasa penasaran.

"Tidak sulit bagi seorang jurnalis pak, menemukan sesuatu adalah pekerjaan utama kami—dan juga..." Sheila mengeluarkan ponsel dari tas miliknya, lalu menunjukkan foto satu seorang pria dan wanita. "Apa anda mengenal bapak ini?"

Tn. Dayat menyipitkan mata, agak kabur. Seharusnya ia memakai kacamata, namun sekarang ia sedang tidak ingin memakainya. Walau begitu wajah pria yang ditunjukkan oleh jurnalis itu memberi sepercik ingatan di otak Tn. Dayat.

"Ahhh.. Tn. Ismail, aku ingat dengan beliau—orang yang sangat baik, sudah lama aku tidak berjumpa dengannya. Kau siapanya dia?"

"Beliau adalah ayah saya dan di samping beliau adalah ibu saya. Berkat beliau juga saya bisa menemukan alamat anda."

"Pantas saja wajahmu terlihat sangat familiar, bagaimana keadaan beliau. Apakah sehat?" Tanya Tn. Dayat.

"Alhamdulillah. Beliau sangat sehat, walau akhir-akhir ini katanya kakinya sering sakit. Selain itu baik-baik saja." Kata Sheila.

"Orang yang sangat baik, kau beruntung memiliki ayah seperti dirinya. Waktu aku masih kecil dan baru kehilangan orangtuaku beliau selalu datang menjenguk dan menenangkanku. Jadi kau mengikuti jejaknya? Sebagai jurnalis?"

Sheila mengangguk, tidak bisa menjawab karena ia sedang mengunyah kue yang disuguhkan oleh Tn. Dayat.

"Silahkan tehnya diminum juga—atau mungkin kau lebih suka kopi?"

"Tidak apa, kalau jam sekarang saya minum kopi, maka malam nanti saya tidak bisa tidur haha.." Sheila menyeruput tehnya. "Jadi berkas milik ayah masih tersimpan rapi di ruangannya, saya membuka file tentang kasus yang terjadi pada anda dan menemukan alamat anda. Saya kira setelah berpuluh-puluh tahun anda sudah tidak lagi tinggal di sini."

"Tidak ada alasan bagiku untuk pindah.." Kata Tn. Dayat lirih. "Jadi kutebak kau datang ke sini untuk mewawancaraiku tentang kasus yang kualami?"

"Bila anda tidak keberatan."

"Aku tidak pernah keberatan membahas hal ini. Mungkin tidak banyak berpengaruh, namun aku merasa semakin banyak yang mengetahui cerita pengalamanku dengan sekte tersebut, maka kemungkinan tertangkapnya orang dibalik sekte tersebut lebih besar."

A Bed Time StoriesWhere stories live. Discover now