All the Knowledge (Part 1)

36 7 0
                                    

Selama ujian di kelas, secara diam-diam aku terus mengamati Yasrul. Ada yang aneh pada dirinya semenjak dia tidak hadir di sekolah selama satu minggu lebih. Dia bilang kakeknya yang berada di kampung meninggal, sehingga dia harus ikut melayat. Ketika dia kembali hadir di sekolah, Yasrul berubah drastis.

Semua teman-teman juga menyadarinya, tetapi mereka nampak tidak terlalu peduli. Namun lain denganku, aku mengenal Yasrul sejak baru pertama kali menginjak kelas satu SD. Sekarang kita sudah kelas dua SMA, waktu yang panjang untuk mengenal seseorang luar dan dalam. Aku akan mendeskripsikan Yasrul secara singkat. Aku dan Yasrul memiliki hobi yang sama, yaitu kegemaran kami pada pop culture, terutama hal yang menyangkut tentang film dan konsol game. Kami sangat tergila-gila, selama akhir pekan kami habiskan dengan menonton film atau bermain game sepuasnya.

Dan selalu di rumah Yasrul. Sebab di antara kami berdua, hanya dia yang memiliki konsol game.

Intinya kami memiliki kesenangan yang sama, mungkin itulah alasan mengapa persahabatan kami begitu erat. Tetapi semua berubah, dia nampak sangat berbeda. Tubuhnya terlihat mengurus, seakan tidak makan selama beberapa hari. Matanya mencekung ke dalam dan kantung matanya terlihat besar serta lebih hitam daripada sebelumnya, menambah kesan suram pada wajah Yasrul. Aku bertanya apa dia sakit dan dia hanya menjawab dengan menggelengkan kepalanya. Waktu itu aku pikir dia hanya tidak enak badan, aku mencoba untuk berbincang dengan Yasrul. Aku membahas game-game baru yang akan rilis dan apakah dia sudah menonton film Christopher Nolan yang terbaru? Film yang bagus dan banyak mendapat rating positif dari para kritikus.

Aku merasa perbincangan kami hanya satu arah, sebab Yasrul sekedar menjawab dengan iya atau tidak. Sehingga aku tidak tahu ingin membahas apa lagi dan berakhir dengan senyap.

Bukan hanya itu saja perubahannya, ini perubahan yang lainnya dan mungkin saja yang paling mencolok pada diri Yasrul. Selama waktu senggang aku dan Yasrul selalu bermain game atau menonton film. Itu artinya waktu kami untuk mengulang pelajaran sekolah hampir tidak ada. Bisa ditebak kalau nilai kami semua anjlok dan kami berdua masuk peringkat paling rendah di kelas. Bisa dibilang kami berdua bukan murid yang terlalu pintar.

Namun secara mendadak semua nilai Yasrul meningkat, dia mulai rajin mengerjakan tugas, bertanya serta menjawab semua pertanyaan dari guru dengan lancar. Ketika pembagian rapot, Yasrul mendapat peringkat pertama di kelas. Wali kelas kami juga mengatakan kalau nilai Yasrul adalah yang paling tinggi di angkatan kami. Walau perasaanku campur aduk namun aku juga ikut merasa senang, sebab dia adalah temanku.

Aku mendukung semua perubahan positif pada Yasrul. Tetapi aku setiap hari semakin khawatir terhadap perubahan fisiknya juga. Seakan aura kehidupannya terhisap keluar dari tubuhnya. Ekspresinya semakin datar dan lebih banyak melamun serta berbicara sendiri terutama saat ujian berlangsung. Lebih tepatnya berbisik sendiri di saat ujian, seakan dia sedang berbicara dengan seseorang.

Dan perubahan yang paling menyakitkan adalah, dia tidak menghiraukan aku lagi. Kita semakin jarang bicara. Teman-teman di kelas mengira kami bertengkar, dan beberapa ada yang berceloteh kalau nilai Yasrul tinggi sebab dia tidak berteman denganku lagi, dan aku hanyalah pengaruh buruk bagi Yasrul.

Aku tidak memperdulikan apa kata mereka.

------------------------------------------

Ini adalah hari sabtu, biasanya aku akan ke rumah Yasrul lalu bermain dengannya. Namun sekarang pertemanan kami agak renggang, sehingga aku menghabiskan akhir pekanku dengan berbaring dan main handphone. Harusnya aku belajar, sebab senin ada ujian. Namun bagiku percuma saja bila belajar. Semua materi tidak akan dapat masuk ke kepalaku. Daripada capek dan sia-sia, lebih baik tidak usah belajar.

Ketika aku sedang bingung ingin melakukan apa, tiba-tiba suara ibuku memanggil dari ruang tamu.

"Indra... temanmu datang, dia mencarimu."

Ibu tidak menyebut siapa nama temanku itu, sepertinya beliau sibuk melanjutkan pekerjaannya di dapur. Dengan rasa penasaran aku ke ruang tamu.

Ternyata yang datang adalah Yasrul. Dan dia nampak... linglung?

"Hey." Katanya singkat.

"Hey." Kubalas sapaannya, aku duduk sofa. "Sudah lama kau tidak berkunjung ke sini. Apa kau sudah belajar?"

"Belajar?" Tanyanya.

"Buat ujian hari senin."

"Oh... belum."

Hening. Aku tidak tahu ingin membicarakan apa, kami sudah lama tidak bertegur sapa, sehingga suasananya agak canggung.

"Apa hari ini kau mau main ke rumahku?"

Apa aku tidak salah dengar? Hampir enam bulan Yasrul tidak menegurku dan tanpa ada angin dia datang ke rumahku lalu mengajakku untuk bermain ke rumahnya. Aku menatap wajahnya yang semakin pucat, sekilas aku merasa sudah tidak ada kehidupan lagi di balik mata itu, hanya tulang, daging dan kulit. Bergerak karena sebuah perintah layaknya robot.

"Kau sudah lama tidak datang ke rumahku, dan aku sangat bosan." Lanjutnya. "Aku membeli game baru. Kita bisa bermain sepuasnya."

Yasrul berkeringat dan ngos-ngosan, dia telah mengeluarkan semua tenaganya untuk berbicara sepanjang itu, obrolan yang lebih panjang daripada hanya sekedar iya atau tidak.

Aku mengiyakan. Aku juga sudah bosan di rumah terus, sudah lama aku tidak bermain game. Sebab memang ayah dan ibuku tidak akan mau membelikanku benda yang seperti itu, mereka bilang hanya buang-buang waktu dan uang.

Aku izin pamit pada ibuku untuk pergi ke rumah Yasrul, dan beliau memperbolehkan. Ibuku menyapa Yasrul dan bertanya mengapa dia jarang datang ke rumah, Yasrul hanya menjawab kalau dia sibuk.

"Jadi bagaimana caranya kau meningkatkan nilai?" Tanyaku pada Yasrul di tengah perjalanan kami menuju rumahnya. Rumahku dan Yasrul tidak terlalu jauh, bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

Tidak ada jawaban darinya, dia melamun. Lalu tiba-tiba dia tersadar dari lamunannya dan menatapku.

"Apa?"

"Aku tadi bertanya bagaimana caranya agar jadi pintar seperti kamu, aku juga ingin dapat nilai tinggi, atau setidaknya, bukan menjadi peringkat paling buncit di kelas."

"Aku hanya rajin membaca." Jawabnya singkat.

Tidak ada perbincangan lagi sampai kami tiba di rumahnya. Rumahnya cukup besar, bisa dibilang Yasrul memiliki orangtua yang cukup berada. Aku menginjakkan kaki ke rumahnya setelah sekian lama tidak berkunjung. Tidak ada yang berubah, mungkin hanya perasaanku saja tetapi terasa ada yang salah pada rumah Yasrul, seakan memancarkan aura yang berbeda dari sebelumnya.

"Kau ingin minum sesuatu?" Yasrul memecah keheningan, dia bertanya tanpa menatap kepadaku.

"A-air saja." Kataku.

"Ayah dan ibuku berada di kamar, mereka sedang tidur siang. Jadi sebaiknya kita jangan berisik." Yasrul berhenti untuk mengambil nafas panjang. "Kau bisa naik ke kamarku duluan."

Yasrul meninggalkanku sendiri, dia pergi ke dapur untuk mengambil minuman. Aku pergi ke kamar Yasrul yang berada di lantai dua, sambil menaiki tangga. Aku melihat beberapa potret foto yang sengaja dipasang di samping dinding menuju lantai atas, sehingga mau tidak mau kau harus melihatnya. Ada potret Yasrul dengan kedua orangtuanya, lalu potret di sampingnya lagi aku sangat yakin adalah kakek Yasrul, dia berdiri dengan gagahnya disertai jas yang pas di tubuhnya. Sehingga memberikan kesan arogan dan berani secara bersamaan. Disertai dengan ekspresi wajah yang datar.

Berkali-kali aku dulu melihat potret tersebut namun aku tidak terlalu memperhatikannya, sekarang aku melihat kalau tatapan mata kakek Yasrul begitu gelap, kantong mata dan cekungannya membuat kesan tersebut semakin kuat. Dan apabila kau menatap mata itu lebih lama lagi, seolah kau bisa terperangkap di dalamnya dan tidak ada jalan keluar. Sama seperti mata Yasrul.

Aku bergegas naik, tidak ingin menatap potret tersebut lebih lama lagi. Karena aku merasa seperti ditatap balik oleh potret itu.

Bersambung...

A Bed Time StoriesWhere stories live. Discover now