01. Warna yang Tak Berwarna

1.1K 160 197
                                    

Putih abu-abu. Warna yang tak berwarna. Namun, banyak orang yang berkata, bahwa masa putih abu-abu adalah masa-masa terindah saat remaja.

Sica tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupan SMA-nya akan berjalan. Yang Sica ingat, ketika di masa SMP dulu, ia adalah seseorang yang masuk dalam sebagian kecil dari mereka-mereka yang merasa tertolak dunia. Mereka-mereka hanya mengenali Sica dari caranya yang berjalan sambil menunduk, caranya duduk di depan pemberhentian bus untuk menunggu jemputan--sambil menunduk, caranya berjalan pelan dan memilih tersisih dari lalu lalang, caranya berdiri di depan kelas untuk presentasi--dengan tangan bertaut gugup di depan rok biru dan suaranya yang pelan, caranya yang memilih tempat duduk di pojok kelas--seolah meminta dunia untuk mengabaikan.

Sica kembali pada masa-masa di mana teman-teman adalah seseorang yang hanya ia kenali namanya. Selama tiga tahun bersekolah di SMP Swasta, Sica tidak pernah mengenal seseorang secara personal, ia terlalu sering menghindar, ia terlalu sering menyepi--seolah manusia adalah sesuatu yang menakutkan, yang dapat membawanya jauh dan ia tak bisa pulang.

Sica tidak ingin kehilangan arah pulang.

Gerakan mobil memelan, sebuah gedung SMA Tunas Cemerlang berdiri kokoh dalam jarak sepuluh meter. Sepuluh meter yang membuat tangannya memangku di atas rok abu--saling bertaut dan terasa dingin, perutnya mendadak mulas karena gugup, sedang Rafa--ayahnya--yang menyetir di sebelahnya hanya fokus pada jalan raya yang cukup padat. Matahari bersinar terik, dan gadis itu yakin ini sudah cukup terlambat.

Mobil benar-benar berhenti dan Sica seolah tidak bisa berdiri. "Pa?"

"Kenapa?" jawab Rafa, menoleh, wajahnya datar.

Sica memalingkan wajah, menatap gedung tertutup itu dengan perasaan yang tak karuan. Keadaan sepi dan jantung gadis itu sudah memompa cepat bertalu-talu. "Kayaknya telat, Pa. Aku pulang aja, ya?"

Wajah Rafa semakin kaku. "Ini hari pertama kamu. Nggak boleh bolos."

"Tapi--"

"Sica." Rafa memeriksa jam tangannya. "Papa udah telat ke rumah sakit."

Sica menghela napas pasrah, menyalimi Rafa dengan senyum kecil, Rafa mengacak pucuk kepala Sica sesaat, lalu Sica segera keluar dari mobil, menatap sebentar pada Rafa yang mulai menjalankan kembali mobil, bersatu dengan jalan raya dan menuju rumah sakit tempatnya bekerja.

Keadaan sepi yang dicurigai Sica memang benar, ia sudah terlambat. Dengan segera ia berlari memasuki gerbang dan menemukan barisan siswa sudah tertata rapi. Terlihat para pengibar bendera tengah bersiap jalan di tempat dan Sica terkesiap saat ada seseorang yang menarik ranselnya.

"Eh, kalian! Baris di sana!"

Tanpa sempat memergoki siapa yang menarik ranselnya, Sica segera menuju ke barisan paling panas yang ditunjuk guru laki-laki tadi. Barisan khusus untuk anak-anak yang tak beratribut lengkap dan yang terlambat. Sica menaruh ranselnya di belakang barisan--di dekat pot-pot besar--dan berdiri di barisan belakang, di samping seorang gadis berambut cokelat. Wajah gadis itu berkeringat, dan Sica tersentak kecil saat gadis itu menoleh sambil tersenyum lebar. Sica balas tersenyum tipis, sangat tipis hingga Sica sendiri ragu apakah tadi ia tengah tersenyum.

Tangan Sica bergerak ke atas, membentuk hormat kala pemimpin upacara memberi komando. Suara serempak paduan suara yang menyanyikan lagu Indonesia Raya mengiringi saat bendera perlahan naik. Tak ada yang menarik perhatian saat upacara bahkan sampai pada pembina yang memberi amanat bersuara. Gadis itu menggerakkan kaki kecil saat merasa penat, memperhatikan sekeliling yang terlihat gusar karena kepanasan. Memindai satu persatu wajah orang-orang yang terlihat dari tempatnya berdiri, membayangkan bagaimana jika Sica tersenyum ke arah mereka dan memperkenalkan diri dan akhirnya berteman. Ah, sepertinya tidak sesederhana itu.

Satu Waktu Ketika RemajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang