22. Yang Tidak Berguna

141 41 77
                                    

Sica melewatkan makan siang dan makan malam dan pagi ini perutnya sakit luar biasa.

Ia meringis ketika bangun, menekan ulu hatinya kuat-kuat seakan itulah obat terbaik sepanjang masa. Tangannya meraih gelas di meja nakas berisi air yang tidak sampai setengah. Tidak tahu itu gelas siapa, Sila sepertinya, tapi Sica tidak lagi peduli ketika ia menghabiskan airnya dalam sekali teguk. Ranjang di sebelahnya kosong, Sica tidak membuka pintu sejak ia pulang sekolah. Pastinya Sila tidur di kamar Riga, dan Riga pasti akan pergi ke rumah sebelah, bersama Saka.

Safa membujuknya keluar, tidak menuntut menanyakan apa-apa meski Sica tahu ibunya khawatir setengah mati. Safa adalah wanita terlembut yang Sica kenal dan ketika anaknya sedang dalam masalah, ia akan menawarkan makanan terlebih dahulu sebelum memasang telinga. Tapi Rafa berbeda, ayahnya menggedor-gedor pintu kamarnya, menuntut Sica keluar dan tidak jadi anak manja. Seakan apa yang Sica lakukan adalah pemberontakan level seratus yang tidak bisa ditoleransi. Sica meringkuk di atas ranjang dan memejamkan mata. Gedoran Rafa berhenti ketika Riga merengek dengan kesal. Sica mendengar ayahnya mendecak keras dan ia terlelap lebih awal daripada malam-malam lain.

Terbangun dengan kekacauan luar biasa, Sica memaksakan diri turun dari tempat tidur dan melihat keluar jendela. Fajar menyingsing di timur, menampilkan langit sewarna malam dan semburat kekuningan yang masih malu-malu. Embun membasahi dedaunan sedangkan Sica menarik oksigen banyak-banyak ke tubuhnya, dalam sekejap, energinya terkumpul meski tidak seratus persen. Nyeri di perutnya belum reda dan itu tidak membuatnya menangis. Sica tidak bisa lagi menangis setelah semalaman. Semuanya terasa kosong, tapi Sica malu untuk membuka pintu kamar yang tenang. Ia tidak siap menghadapi ayah-ibu serta adik dan kakaknya.

Derit pintu yang dibuka hati-hati membuat Sica mundur dari jendela. Sosok lain muncul di sebelah, memasuki balkon dan menatap ke bawah. Tangan Sica terulur untuk menutup gorden tapi suara kerekannya membuat Saka menoleh.

"Sica?" gumam Saka, terdengar jelas di subuh yang sunyi.

Sica menjauh teramat pelan, berusaha menimbulkan prasangka untuk Saka bahwa jika Saka menduga suara kerekan gorden berasal Sica, itu salah.

Kembali ke tempat tidurnya, Sica baru menyadari jantungnya berdetak terlalu cepat. Mungkin Sica harus tidur lagi. Ia tidak berencana pergi ke sekolah saat wajahnya terasa bengkak. Tidak. Itu rencana yang buruk, walaupun nanti Rafa akan marah, walaupun minggu depan sudah ujian kenaikan kelas. Sica tidak peduli saat sekarang semua hal menjadi sangat buruk. Sekolah akan tetap menjadi tempat paling mengerikan dan tidak akan pernah berubah untuk Sica. Meskipun memang ia tidak pernah berusaha. Rissa bilang begitu dan ia bilang Sica bisa. Sica mengerti maksudnya.

Mungkin selama ini Sica tidak pernah berusaha, untuk Rissa, untuk pertemanan mereka. Tapi apa pilihannya harus pergi? Sica tidak bisa menampik pikirannya untuk mengecap Rissa sebagai orang jahat saat ia ingat bagaimana gadis itu menawarkan pertemanannya. Gue nggak akan ninggalin lo. Sepertinya begitu, Sica lupa persisnya tapi yang ia pahami bahwa Rissa pernah berjanji untuk tidak akan meninggalkannya. Pantas-pantas saja Sica mengecapnya jahat dan Sica tidak perlu merasa bersalah untuk itu.

Kepalanya berdenyut pelan, seperti ada gerombolan semut yang tengah mengorek-orek kepalanya. Sica meringis, berusaha berdiri saat matanya berkunang-kunang. Setelah mengedip-kedipkan mata, ia berjalan dengan hati-hati menuju pintu. Mengabaikan rasa malu ketika ia berpikir akan bertemu anggota keluarganya, Sica tahu ia butuh makan. Satu atau dua suap nasi tidak masalah, lalu kembali ke kamar.

***

Tidak ada satu dua suap nasi, Sica makan sepiring penuh saat melihat tongseng daging di bawah tudung saji. Sisa makan malam, tersisih sendiri, kuah dan tatanannya begitu tenang sampai Sica berpikir ibunya yang menyisakan itu untuknya. Sejenak terbersit rasa tak enak hati sampai akhirnya perutnya kenyang dan kepalanya tidak seringan tadi. Ia sudah siap untuk undur diri saat Safa tersenyum di belakangnya. Sica menunduk malu.

Satu Waktu Ketika RemajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang