06. Dosa Besar

345 103 115
                                    

Salah satu alasan mengapa Sica tak menyukai berjalan di tengah-tengah lalu-lalang adalah tubuhnya yang mungil. Ia akan mudah tersenggol, tertabrak, terjatuh atau lebih parah lagi terinjak. Di awal masuk SMA dulu, teman-teman sekelasnya kerap kali mengira Sica bukan seorang anak SMA pada umumnya. Tubuh Sica lebih cocok untuk ukuran seorang anak yang baru masuk SMP ketimbang yang baru masuk SMA. Maka karena itu, perundungan dalam bentuk verbal kerap kali Sica dengar dan alami.

Kata Rissa itu hal biasa karena mereka ingin mencoba akrab. Rissa berkata itu adalah teknik pendekatan agar mereka bisa berteman. Saling melempar ejekan-mencandai bentuk tubuh, adalah hal biasa agar pertemanan semakin akrab. Rissa salah, sebab Sica tak pernah bisa menerimanya. Kata mereka, tubuh Sica terlalu kecil untuk ukuran anak SMA. Kata mereka, Sica seharusnya kembali ke sekolah dasar. Kata mereka, Sica adalah anak SD yang kesasar ke Tunas Cemerlang. Kata mereka, Sica tak pantas menjadi anak SMA.

Saat Sica masih mengenakan seragam putih-merah, ada hal lebih buruk dari sekadar kata-kata. Entah karena tubuhnya yang mungil, anak-anak yang merasa besar kerap kali merasa lebih berkuasa--bertindak seolah sekolah dan aturannya adalah sesuatu yang ada dalam genggamannya. Mereka yang besar ini lebih memilih menindas anak dengan penampilan yang lemah, mudah tertindas, mudah terintimidasi. Sica adalah salah satunya. Gadis itu pernah pulang dengan rambut lengket, seragam--terutama di bagian bahu--bernoda kemerahan, berbau stroberi. Ketika Safa bertanya, Sica menjawab, "Nggak sengaja ketumpahan sirup yang aku beli di kantin. Waktu aku mau minum, nggak sengaja kepencet bungkusnya, terus sirupnya muncrat."

Padahal sepanjang di sekolah dasar, Sica tak pernah ke kantin. Tapi Safa percaya-percaya saja setelah Sica mengatakannya dengan bersungguh-sungguh.

Sica berbohong karena ia takut Safa atau Riga atau Rafa memarahinya karena ia tak berani melawan ketika diganggu. Sica berbohong dengan alasan ia tak menyukai kecerewetan ibunya yang justru semakin membuatnya terganggu. Maka ia diam, selalu diam, hingga kini--kisah bahwa Sica pernah disiram sirup stroberi di atas kepalanya tak pernah diketahui keluarga. Kisah bahwa Sica pernah diganggu dengan anak besar tak pernah terbuka.

Sica tak ingin kisah-kisah itu terulang lagi. Sica tak ingin bertemu dengan anak besar lainnya. Sica tak ingin mengalami hal-hal buruk di sekolahnya kini. Maka mungkin menarik diri dan mencoba tak terlihat adalah salah satu cara terbaik.

Kakinya berjalan pelan, berjalan di baris paling tepi, menghindar dari lalu-lalang, sendirian--Rissa tengah sibuk dengan klub Teater-nya. Kepalanya menunduk, berharap dengan begitu tubuhnya mendadak transparan dan tak akan ada yang melihatnya. Mungkin jika ada Rissa di sisinya, perjalanan menuju perpustakaan bukanlah perjalanan yang panjang, sebab Rissa pasti akan berceloteh panjang lebar, tertawa-tawa, dan mungkin mengajaknya berlari di koridor.

Seseorang tiba-tiba menyenggol bahunya. Dua buku dan satu ponsel yang Sica peluk terjatuh karena kaget. Seseorang itu berhenti, menatap Sica yang memungut kembali ponsel dan bukunya.

"Sorry, ya. Gue nggak sengaja."

Sica kembali berdiri, matanya melirik wajah gadis yang menyenggol bahunya--ia tengah tersenyum, senyum mengejek.

"Nggak pa-pa," sahut Sica, kembali berjalan, gadis tadi menghalangi jalannya.

"Alice!"

Sica menoleh. Gilang--kapten tim sepak bola sekolahnya--berlari kecil menghampiri mereka. "Lice, jangan nyari ribut."

"Siapa yang nyari ribut? Gue cuma nggak sengaja nabrak. Iya, 'kan?" Alice menatap Sica dengan tatapan mengintimidasi. Sica mengangguk, ia ingin segera pergi, tapi lagi-lagi Alice menghalangi. Gilang menghela napas, membuang pandangan dari kedua gadis di dekatnya.

Satu Waktu Ketika RemajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang