30. Ini Salah Mereka

248 33 10
                                    

⚠️

***

Perwakilan Elevan FC sudah harus pergi ke Bali sebelum pembagian rapor.

Saka mengepak ransel dengan sederhana di ruang tamu rumahnya. Sica dan Safa ikut membantu. Safa sempat mengomel kalau barang yang Saka bawa terlalu sedikit. Seharusnya ada dua atau tiga lembar baju lagi karena Saka tidak mungkin tidak ke pantai. Safa juga menyiapkan peralatan mandi hingga minyak kayu putih untuk berjaga-jaga karena katanya angin di pantai selalu deras. Safa bahkan memasukan beberapa camilan di dalam ransel Saka sampai pemuda itu meringis kaku.

"Makasih, Tante. Tapi aku ke Bali mau pelatihan. Bukan liburan." Saka mengeluarkan sikat gigi baru, sabun, beberapa bungkus sampo, dan peralatan mandi lainnya dengan sungkan. "Aku juga nginep di hotel. Jadi nggak perlu ini."

Safa diam sebentar. "Gimana kalau sikat giginya bekas? Bawa aja, Ka. Biar tas kamu nggak ringan-ringan banget."

Sica yang duduk berlutut di samping Saka berkomentar, "Kalau berat kan kasian, Ma."

"Nah." Riga tiba-tiba masuk ke rumah Saka. "Kalau keberatan nanti pesawatnya oleng."

Sica terkikik sementara ibunya berkata, "Amit-amit." Berulang kali.

Saka tersenyum dengan mengangkat satu sisi bibirnya dan melihat jam tangan. Pukul lima pagi. Setidaknya satu jam lagi. Saka akan pergi ke Elevan FC terlebih dahulu untuk menjumpai Pelatih. Namun sebelum ke sana, Tama akan menjemputnya ke sini bersama Papa. Ia menunggu di teras rumahnya bersama Sica sementara Riga dan Safa pamit oleh teriakan Sila yang tengah mencari kaus kaki. Safa sempat memeluk Saka lama dan mendoakan kesuksesannya. Hati Sica hangat melihat Saka tersenyum dalam pelukan itu.

Setelah keadaan hanya menyisakan Sica dan Saka. Baru mereka sadari udara pagi begitu dingin dan gelap. Matahari belum bersinar dan rasanya sangat sunyi. Mereka duduk di undakan teras dalam diam. Sica melihat Saka di sebelahnya dengan ransel yang sudah terpasang. Seolah ia sudah sangat siap dengan ini. Inilah yang ia tunggu-tunggu selama ini.

Dan Sica merasa ini pernah terjadi di ingatannya. Saka duduk di sampingnya. Tidak bicara apa-apa. Matanya menatap ke depan. Bukan. Rambutnya tidak tertiup angin.

"Semangat, ya, Ka." Sica menatap kedua lututnya yang tertekuk dan sedikit menunduk. Rambutnya yang terurai jadi menjuntai menutupi sisi pipinya. "Gue tau ini berarti banget buat lo."

Saka menoleh dan tersenyum. "Thanks." Tangannya terulur menyingkirkan rambut Sica yang menjuntai. "Gue nggak bisa liat muka lo."

"Oh." Sica segera mengangkat kepala.

Saka terkekeh. "Jangan sering-sering nunduk."

"Iya." Sica menunduk lagi, lalu mengangkat lagi.

Saka tertawa. Terdengar lebih lepas dari yang pernah Sica dengar. Sica menyelipkan rambutnya di belakang telinga sambil tersenyum. Kalau bisa, ia ingin menyimpan tawa itu selama-lamanya. Tawa itu hidup. Tawa itu mengisi kesunyian. Tawa itu jarang-jarang Saka gunakan. Saka jadi lebih berwarna dari kelabu yang selama ini menyelimutinya. Sica jadi ingin memeluk Saka.

"Mau gue iketin aja rambutnya?" tawar Saka setelah tawanya reda.

Punggung Sica kaku. "Bisa?"

Saka tersenyum lagi, ia lebih banyak tersenyum, tapi kali ini lebih tipis. Ia meraih pergelangan tangan Sica dan mengambil ikat rambut di sana. "Gue pernah ngiketin rambut nyokap."

Sica tidak membiarkan Saka berhenti. Sica bahkan tidak bergerak ketika tangan Saka mulai menyatukan helai-helai rambutnya. Ia memejamkan mata ketika dadanya berdesir hangat dan tangan Saka mengusap di kepalanya untuk merapikan. Satu hal yang Sica harapkan adalah ia ingin momen ini berjalan sangat lambat. Sica ingin merasakan lebih dalam bagaimana tangan Saka bergerak di pangkal kepalanya, bagaimana Saka mengikat rambutnya dengan tenang, bagaimana ketika Saka tidak sengaja menyentuh tengkuk lehernya. Tapi momen itu hanya terjadi sebentar sebab Saka terlalu mahir. Keadaan jadi terasa sama seperti saat Safa baru meninggalkan mereka berdua tapi yang ini lebih aneh.

Satu Waktu Ketika RemajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang