04. Hujan Terlalu Pagi

425 118 237
                                    

Pergi dan pulang sekolah bersama. Ke kantin bersama. Mengerjakan PR bersama. Membaca buku yang sama. Pergi berbelanja bersama. Belajar merias wajah. Saling mendengarkan. Berbagi peluk dan tawa. Berbagi kisah. Bernyanyi bersama; adalah beberapa hal yang sudah Sica lalui bersama Rissa selama 18 bulan terakhir.

Sahabat pertama. Sica dapat merasakan bagaimana euforia yang membuncah di dadanya mampu membuat gadis itu tersenyum sepanjang hari sebab memiliki seseorang yang bisa disebut "Temanku" kepada kedua orang tuanya. Sica dapat merasakan bagaimana tawanya lepas, selepas-lepasnya ketika ia bersama Rissa dan berakhir memikirkannya sepanjang malam. Sica dapat merasakan bagaimana rasa cemas, takut dan sepi yang dulu bercampur berantakan kini telah memudar dan berganti dengan perasaan haru, senang dan cukup. Sica dapat merasakan bagaimana hatinya dipenuhi rasa antusias yang tinggi kala bangun setiap pukul empat pagi dan memikirkan apa lagi yang akan ia lalui bersama Rissa.

Seperti pagi yang sudah-sudah, Sica keluar dari kamarnya--setelah membangunkan Sila yang sekamar dengannya--sambil mengecek ponsel dan menunggu kabar dari Rissa yang akan menjemputnya. Tidak ada. Rissa biasanya akan mengabari pukul setengah enam. Masih satu setengah jam. Sica memang sedang terlalu bersemangat. Gadis itu menyimpan ponselnya di saku piyama, dan menguap. Tunas Cemerlang yang memiliki jam masuk pukul setengah tujuh pagi, membuat gadis itu harus berangkat dari rumah minimal pukul enam. Jika tidak, ia akan selalu terlambat dan akan selalu dihukum. Sica ingat di awal-awal kelas sepuluh, 18 bulan yang lalu, ia terlalu sering berdiri di barisan terpanas, terlalu sering berlari mengitari lapangan utama yang mahaluas, terlalu sering menjadi bahan tontonan mereka yang kelasnya menghadap ke lapangan. Cukup di kelas sepuluh. Sekarang, kelas sebelas, Sica tidak ingin terlambat lagi.

Sica menuruni tangga sambil mengusap-usap lengannya yang dingin, keadaan rumah masih sepi, ada Safa--ibunya--yang duduk di atas sofa sambil menelepon, samar-samar suara azan subuh terdengar berpadu dengan turunnya hujan yang tak juga reda sejak malam tadi. Bulan Februari, masih musim penghujan, Sica selalu membawa jas hujan di ranselnya.

"Innalillahi."

Ada keterkejutan bercampur rasa ingin tahu di wajah Sica sehingga ia mempercepat langkah, menghampiri Safa yang tampak syok, tangan kanannya masih menempelkan ponsel di telinga, sedang tangan kiri menutup mulut efek terkejut, wajahnya sendu sekaligus tidak percaya, lalu ia mengangguk dan sedetik kemudian berubah tegar.

"Saka, kamu hubungin keluarga yang lain, oke? Tante ke sana sekarang."

"Ma, kenapa?" Sica mendudukkan diri di sisi Safa yang tengah memutuskan panggilan di ponselnya.

"Sania, Ca." Suara Safa bergetar.

"Tante Sania kenapa?" Sica kenal nama itu. Safa pernah mengenalkan sosok itu padanya setahun yang lalu, sejak Sania baru pindah ke perumahan ini.

"Dia baru aja berpulang."

***

Systemic Lupus Erythematosus (SLE), Sica tidak mengerti dengan hal-hal seperti itu tapi Rafa tahu. Itu adalah salah satu jenis penyakit lupus yang sering terjadi. Penyakit yang menyerang sistem imunitas tubuh. Lebih sering terjadi pada perempuan. Dan tergolong dalam penyakit berbahaya.

Sica bergidik sendiri saat membayangkan bagaimana antibodi yang memiliki peran untuk menjaga tubuh dari masuknya benda asing seperti virus dan bakteri, justru berbalik menyerang jaringan-jaringan sehat dalam tubuh. Dalam kasus Sania, penyakit lupus bukanlah satu-satunya di dalam tubuhnya, wanita itu mengalami komplikasi pada paru-paru yang membuat kondisinya semakin buruk, hingga puncaknya ... Sania pergi, subuh tadi.

Satu Waktu Ketika RemajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang