08. Satu Tempat, Dua Ruang

335 103 104
                                    

Mengamini kalimat Rafa kemarin adalah salah satu bentuk pemberontakan halus yang Sica lakukan.

Sica tidak perlu bergaul. Benar. Sica tidak perlu bergaul.

Barangkali dengan begitu, Sica akan dicap sebagai anak penurut dan Rafa tak akan mengekangnya lagi. Barangkali dengan begitu, Rafa bisa tahu kalau Sica masih anak baik dan pria itu tak perlu lagi menuntutnya ini-itu. Mungkin pemberontakan yang Sica lakukan akan berpengaruh baik agar Rafa mau memahaminya.

"Maaf, ya, Ca," ucap Tama, di tengah-tengah menjalani hukuman (hasil dari membolos kemarin) bersama Sica, untuk memungut dedaunan kering di tepi lapangan basket. "Jadi dihukum gini."

"Nggak pa-pa. Udah terlanjur." Sica mengembuskan napas. Selama jam pelajaran pertama, ia dan Tama sudah di sini melaksanakan hukuman. Sebentar lagi selesai. Tadi saat pengeras suara memanggil namanya dan Tama bersamaan--untuk segera pergi ke ruang BK--jantung Sica sudah berdetak sangat cepat. Ini untuk pertama kalinya, Sica masuk ke ruangan tertutup dengan udara yang sangat dingin sampai-sampai membuat tubuh Sica mendadak beku dan pucat. Berhadapan dengan guru yang membimbing anak-anak nakal--dan bertemu guru itu, Sica mendadak merasa sangat nakal. Anehnya, Tama santai-santai saja karena katanya, membolos adalah salah satu pelanggaran paling ringan dan rata-rata siswa pernah melakukannya. Tapi tetap saja Sica gugup setengah mati.

"Sebenarnya gue cuma pengen ngebuat lo ngerasa nyaman sama diri lo sendiri." Tahu-tahu, Tama sudah duduk di tepi lapangan. Plastik sampah besarnya ia sandarkan ke sebuah pohon. "Bukannya apa-apa. Gue ngelihat, lo kayak nggak nyaman ada di sini--di sekolah ini.

"Dan waktu gue ngajak lo ke rumah gue, lo kelihatan lebih ... bebas."

Tama melirik Sica yang tengah berjongkok memungut bungkus-bungkus permen. Sekolah memang bukanlah tempat yang nyaman bagi Sica, sekalipun sekarang ada Rissa. Sekolah tidak serta-merta berubah menjadi semenyenangkan Rissa setelah itu, sekolah masih sama. Ratusan bahkan ribuan orang, tugas-tugas sulit, guru-guru galak, kelompok pergaulan, tingkatan senior, persaingan prestasi, berbicara di depan kelas, kegiatan di luar kelas, kantin penuh, upacara yang panjang. Sejauh ini, hanya Rissa-lah yang menyenangkan.

Tama berdeham. Sica mengerjap. Atau sekarang, Tama juga salah satu yang menyenangkan. Sica tak akan menjauhi Tama seperti kata Rafa, itu juga salah satu bentuk pemberontakannya.

"Hmm, ya, kayaknya ... iya." Sica kini benar-benar duduk di atas rumput. Berjarak dua meter dari Tama. "Gue nggak suka ada di sekolah. Kalau bisa gue nggak pengen sekolah. Tapi Papa pasti marah." Sica tertawa.

Namun Tama tahu ada yang aneh dari tawa itu. Ia seperti tengah menertawakan sesuatu yang berusaha ditentangnya. Menertawakan takdir. Tama diam sebentar.

"Lo cantik," cetus Tama akhirnya.

Sica yang tengah menggambar-gambar dengan garis-garis imajiner di atas rumput mengangkat kepalanya. Matanya bertemu beberapa detik dengan Tama, sebelum Sica mengerjap dengan pipi yang panas.

"Maksud gue." Tama berdeham saat tiba-tiba suaranya serak. "Lo cantik, kalau lo nggak sekolah dan di rumah aja, orang-orang nggak bakal tau ada cewek secantik elo."

Entah kata "secantik" itu berlebihan atau tidak, namun Tama tak berbohong. Sica cantik. Cantik yang manis. Apalagi jika ia tengah tersenyum, pipinya yang cukup berisi itu akan terangkat, ditambah rona merah yang jadi penghias. Tama jadi gemas sendiri membayangkannya.

Satu Waktu Ketika RemajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang