11. Mimpi-mimpi Mereka

296 93 117
                                    

Beranda rumah. Taman belakang. Bunga berwarna-warni. Ruang keluarga. Serial televisi Indonesia. Meja makan. Dapur. Aroma bawang. Sabun mandi beraroma lemon. Minyak goreng dengan merek Sania ....

Memasuki rumah lama sama dengan membuka kembali kotak berisi kenang-kenang milik Sania. Hal-hal kecil yang mampu membuat hati Saka dipenuhi rasa rindu sebab setiap sudut rumah ini erat kaitannya dengan wanita itu. Hal-hal sepele yang masih mampu Saka terima meski jika hari-hari sulit terlalui--ia akan berpikir untuk pergi saja dari rumah ini. Hal-hal yang membuat Saka pernah memantapkan hati untuk bertahan di rumah ini, demi Sania.

Sebelum janji spontannya pada Sica terucap. Sebelum semua kekacauan tiba-tiba datang.

Akbar kembali, ke rumah lamanya.

Sore menjelang magrib, Sabtu dua hari yang lalu, sesaat setelah Saka baru kembali dari Elevan FC, pria dengan usia mencapai kepala empat itu duduk di ruang tamu sambil mengisap rokok. Di mejanya terdapat kopi yang Saka tebak dibuatkan oleh wanita yang tadi Saka lihat tengah menatap tanaman bunga di samping rumahnya, dari perawakannya Saka tahu wanita itu sedang hamil.

Hati Saka perih. Bagaimana bisa seseorang berpindah hati semudah Akbar? Bagaimana bisa seseorang tiba-tiba pergi setelah berjanji untuk mencintai keluarganya hingga mati? Bagaimana bisa wajah seseorang itu dengan tak tahu malunya hadir di hadapan Saka?

Bagaimana bisa ... seseorang yang Saka benci ini adalah ayahnya sendiri?

"Saka." Akbar mematikan rokoknya di asbak. Tersenyum lebar sambil berdiri. "Baru pulang? Dari mana aja?"

Saka menaruh ranselnya di atas sofa. Wajahnya dibuat tanpa menunjukkan ekspresi maupun emosi. Menatap Akbar sekali lagi. Dua tahun lebih, Akbar tak menampakan diri. Dua tahun lebih, Akbar hanya hadir sebatas pesan ponsel yang selalu Saka abaikan. Dua tahun lebih, Saka membencinya.

"Papa yang dari mana aja?" Saka yang masih mengenakan jersei Elevan FC itu menghela napas berat.

"Papa kangen kamu."

Saka memalingkan wajah.

"Udah lama, Papa selalu usahain nyari waktu buat ketemu kamu." Ada jeda, dan Saka ingin tenggelam saja. "Dan sekarang Papa harap nggak ada penolakan lagi."

"Karena Mama udah nggak ada?" tanya Saka pelan, nada getirnya kentara. "Papa tau, 'kan, kalau Mama udah nggak ada?"

"Tau," jawab Akbar. "Tapi Papa belum sempat ke makam."

"Setelah 40 hari?" tanya Saka tak percaya. Hari setelah Sania dikuburkan, Saka tidak lupa untuk mengabarkan Akbar bahwa mantan istrinya telah tiada. Berharap Akbar menemui wanita itu meski tidak saling bicara. Sania terluka dan permintaan maaf tidak pernah ia terima.

"Saka, Papa minta maaf." Suara Akbar melirih. "Papa ngerti perasaan kamu."

"Nggak," sambar Saka. Jika Akbar mengerti dirinya, perpisahan antara Sania dan Akbar seharusnya tak pernah terjadi. Saka menghela napas sesaat. "Oke, aku maafin. Tapi kenapa Papa nggak pernah minta maaf ke Mama? Bahkan setelah Mama nggak ada?"

Membahas Sania selalu membangkitkan sisi emosional Saka dan itu tidak menyenangkan. Tidak, tidak di hadapan Akbar. Pria itu mengusap seluruh wajah dengan telapak tangan, lalu menatap Saka dengan sorot frustrasi. "Tolong jangan bahas itu sekarang. Papa ke sini bukan buat itu."

"Nggak ada yang lebih penting dari itu." Nada Saka berubah tajam. Kakinya melangkah meninggalkan ruang tamu. "Aku mau ganti baju."

Kelepasan. Sebuah izin untuk mengganti baju adalah kata-kata refleks yang tak bisa Saka tahan. Saka menyadari, bahwa sisi seorang anak yang hendak berbakti pada ayahnya masih hidup jauh di dalam hatinya. Tertutup oleh suburnya rasa benci yang tersiram apik oleh jarak yang selama ini ada. Tapi ketika jarak itu perlahan terkikis, ketika dengan tiba-tiba Akbar datang dengan rencana menghapus jarak, akankah rasa benci itu hilang tak berbekas?

Satu Waktu Ketika RemajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang