29. Sama-Sama Sica

156 36 39
                                    

Laporan Dino pada guru pengawas ujian berakhir dengan ditempatkannya dua puluh anak 11 IPA 3 di halaman paling belakang sekolah.

Tempatnya cukup berantakan dengan rumput-rumput yang meninggi. Daun kering ada di mana-mana. Tumpukan meja-meja dan kursi-kursi rusak ada di sudut dengan paku yang mencuat. Pagar dinding yang membatasi sekolah dan jalan raya mulai Sica sadari mengandung kata-kata umpatan. Mika menelusuri dinding itu dan berasumsi bahwa ini adalah tempat yang bagus untuk merundung seseorang. Teman-temannya mengangguk membenarkan. Sementara Sica yang berada dekat dengan mereka bergidik diam-diam.

Di kumpulan yang lain, ada Cia yang memungut daun-daun kering sambil mengomel pada Dino. Bicara bahwa semua ini adalah salah pemuda itu. Lalu mereka saling menyalahkan sampai terjadi adu mulut dan adu lempar daun kering. Anak-anak di sekitar mereka ikut mengompori dan mengklaim Dino adalah teman yang cepu dan tidak asyik.

"Dari dulu gue nggak pernah lapor karena gue ngerasa nggak penting aja ngurusin kalian. Tapi ni bocah gembul satu malah ikut nyontek," kata Dino sambil menoyor kepala Cia. "Gue nggak mau, lah, dia ikut-ikut kayak gitu. Lagian, nyontek nggak bakal bikin lo pinter."

"Tujuan gue nyontek bukan biar pinter, sih," sahut salah satu anak laki-laki.

"Apa yang lo banggain dari nilai tinggi tapi hasil orang lain?" tanya Dino.

"Nggak ada. Tapi gue nggak peduli. Yang penting gue sekolah, lulus, beres."

Percakapan mereka berlangsung cukup panjang sampai ketua kelas turun tangan dan memerintahkan mereka kembali bekerja. Di sudut lain berkumpul anak-anak yang sengaja berleha-leha, mereka orang-orang yang merasa ini bukan kesalahannya dan merasa tidak harus diberi hukuman, anak laki-laki tadi bergabung di sana. Mungkin Sica sama sepertinya. Sekolah, lulus, beres. Sica tidak tahu tujuannya apa. Untuk apa ia bersekolah? Apa yang hendak ia capai? Apa yang seharusnya dicapai? Mendapat banyak teman, meraih peringkat tertinggi, dan aktif berorganisasi? Sica tidak meraih itu semua. Mungkin itu sia-sia. Apa yang Sica lakukan sia-sia. Sica tidak meraih apa pun dengan keinginannya sendiri. Tulisan-tulisannya masih sama seperti dulu. Tidak ada kabar apa pun dari penerbit yang Sica tawarkan tulisannya.

Apa seharusnya dari dulu Sica mendengarkan Papa?

Les dan sekolah yang rajin. Tidak memberontak. Tidak berteman dengan Tama. Dan mempersiapkan diri untuk masuk Kedokteran.

Apa itu yang harus Sica lakukan? Tapi sekarang Papa sudah melepaskannya.

"Jujur, ya, gue salut sama Dino. Dia berani jadi musuh satu kelas buat membela kebenaran."

Suara Mika mendengung di telinga Sica. Memecah Sica dari pikiran-pikiran akan masa depan dan tujuan hidupnya. Rambut ekor kuda Mika bergoyang-goyang ketika mencoba mengangkat satu plastik besar berisi sampah sendirian. Sadar diperhatikan, Mika melambaikan tangan.

"Sini dong, bantu gue angkat ini," ajak Mika yang membuat Sica mendekat ke kelompok pertemanannya dan mendapati banyak percakapan.

"Kita langsung ke kantin aja ya abis ini?"

"Senin nanti masih masuk nggak?"

"Gue baru aja beli earphone baru setelah yang dulu sebelah kirinya rusak."

"Gue beli earphone murah banget, Na. 15 ribu aja. Lumayan awet, udah dipake dua bulanan."

"Murah banget serius? Beli di mana?"

"Ada nggak sih yang buka servis earphone? Capek beli mulu."

"Ayam geprek, yuk, pulang nanti?"

"Eh, halo, Sica," sapa Vina, berimbas pada putusnya percakapan antara ia dan dua temannya yang lain, Ava dan Dinda. Mika serta Rissa yang sempat bergabung dalam perbincangan kini sedang mengurus kantong-kantong sampah yang siap dibuang. Sica ingin menghampiri Mika karena gadis itu yang memintanya ke sini, tapi ia terlihat sedang bicara dengan Rissa. Dan Sica ragu untuk berada sangat dengan dengan Rissa.

Jadi yang Sica lakukan hanya berdiri di sana dengan canggung seraya tersenyum singkat membalas sapaan Vina. Menunggu sampai Mika kembali, atau lebih bagus lagi Rissa, memusatkan perhatian padanya. Ini adalah momen bagus untuk kembali, seandainya Sica berani untuk menyapa, mungkin Rissa akan secara otomatis kembali, mungkin.

Tiba-tiba saja Dinda menatapnya sambil tersenyum. Mungkin hanya sebuah penghormatan bahwa ia sangat menyadari kehadiran Sica di dekat mereka. Sica balas tersenyum, tepat ketika perhatian Mika tertuju padanya.

Mika berkomentar, "Sica kalau senyum manis juga, ya,"

"Bener. Jarang-jarang kan ngeliat dia senyum," timpal Dinda sambil meratakan poninya yang lepek, kemudian ia tersenyum lagi pada Sica.

Yang terjadi selanjutnya adalah satu per satu dari mereka mengomentari senyum Sica yang manis dan betapa jarangnya Sica tersenyum di kelas. Semuanya terdengar begitu baik dan tulus sampai-sampai Sica tidak berani menatap mata mereka. Lengkung bibirnya berubah jadi lengkung yang teramat canggung dan salah tingkah. Sementara pipinya menghangat, tawa Rissa pecah. Udara yang sebelumnya terisi suara gemeresak plastik serta daun kering, bau kayu lama dan tanah tak terurus berganti dengan sesuatu yang lebih segar. Seolah-olah perjalanan panjangnya di padang pasir yang panas telah selesai dan oasis itu ada di depannya.

Sica baru saja menemukannya.

Karena Rissa adalah tawa yang menular, Sica jadi ikut tertawa pelan dan menyadari asing di antara ia dan kelima gadis itu telah melebur. Mereka berbagi tawa dan kata-kata—yang isinya adalah menggoda Sica yang salah tingkah—hingga tidak ada lagi yang mencoba menatap Sica seakan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan dengan gadis pendiam ini sampai akhirnya memutuskan hanya memberinya senyum yang canggung.

Ketika tawa dan kata-kata itu reda, Rissa berkata, "Lo nggak berubah, ya. Tapi itu bukan masalah. Gue sadar sekarang kalau Sica itu ya Sica. Gue nggak bisa minta dia buat jadi orang yang gue penginin atau temen yang gue penginin."

Vina menggoda Rissa dengan kata-kata dan gerakan bibir yang menggemaskan sebelum Mika mengambil alih keadaan. Rissa yang hendak menjambak rambut Vina jadi memanyunkan bibirnya sesaat, lalu tersenyum ketika Sica mendekat. Mika meminta Sica untuk membantu mengangkat salah satu sisi kantong sementara Mika di sisi lainnya.

"Sica biar sama Rissa aja. Mika sini sama gue," ujar Vina sambil menggebuk kantong sampahnya.

"Apaan. Gue duluan yang booking Sica."

"Udah kayak hotel," sahut Ava, ia tidak banyak bicara.

Dinda menggeret kantong sampahnya. "Ayo, Va, biar cepet selesai. Gue mau pulang terus makan ayam geprek!"

"Nggak ada yang boleh pulang," kata ketua kelas menghancurkan harapan Dinda. "Kita masih dihukum. Habis ini kita bersihin semua toilet dari lantai satu sampai empat. Nanti bagi tugas."

"Lagi?!"

Suara keluhan terdengar, tapi lama-kelamaan terdengar seperti protes yang panjang, lebih-lebih pada anak-anak yang hanya berleha-leha. Mika membawa teman-temannya dari keributan itu dengan tiga kantong sampah penuh yang dibawa berdua-berdua ke tempat pembuangan sampah di Tunas Cemerlang. Dalam perjalanan itu, Sica merasa berada di tempat yang paling aman. Mika di sampingnya. Di belakang ada Rissa dan Vina. Lalu di belakang lagi ada Dinda dan Ava. Bolehkah Sica menyebut mereka teman mulai sekarang? Apa yang sebenarnya mereka lakukan? Apa yang Sica lakukan ada di tengah-tengah mereka?

Tapi di sisi lain, tidak ada penolakan. Semua yang mereka lakukan lebih seperti Sica adalah salah satu bagian dari mereka. Vina bahkan menggodanya dengan Tama, bicara bahwa Tama adalah pacar yang manis untuk Sica sebab selalu mengantar dan menjemput Sica di kelas. Sica membantah Tama bukan pacarnya. Vina tidak peduli dan menganggap Sica hanya malu-malu kucing. Layaknya seorang teman. Tapi sepanjang itu, Rissa hanya diam.

Mungkin gadis itu hanya merasa kedekatan mereka ini sedikit aneh. Tidak ada kesepakatan apa pun. Rissa hanya tertawa dan tiba-tiba bicara padanya. Tidak ada permintaan untuk kembali berteman. Sica ingin mempertanyakan itu, tapi ia membelokan dengan kalimat, "Ngomong-ngomong, makasih banyak yang tadi. Kalian banyak banget muji. Baik banget."

Sica melihat ke belakang dan mendapati mereka tersenyum dengan cara masing-masing. Tanah yang dipijaknya seakan berubah jadi padang rumput yang luas. Seperti sebuah tempat untuk orang-orang yang berbahagia. Untuk beberapa saat Sica merasa ia pantas berada di tempat itu dan merasakan bahwa ia penuh dengan banyak warna, penuh dengan pencapaian, penuh dengan semua hal yang semua remaja dapatkan. Semua teman-teman yang ia impikan.

Ketika kelima gadis itu membalas kompak dengan, "Sama-sama, Sica."

Sica tahu mereka sudah berteman.

Satu Waktu Ketika RemajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang