07. Berhenti dan Pergi

332 100 123
                                    

Firasat Sica tentang dosa besarnya ternyata terbukti saat ia tiba di rumah.

Beruntung Tama dan kesopanannya mampu meredam gejolak emosi yang menguar di mata Rafa saat menyambut Sica di rumah. Pemuda itu menyalami Rafa dan mengenalkan diri sebagai teman sekolah. Tama tersenyum sangat lebar sarat arti dan Rafa hanya mengangguk tak terlalu peduli, lalu memerintahkan Sica agar segera berganti pakaian.

Sica tanpa menunda-nunda segera naik ke kamarnya dan meninggalkan Tama berdua dengan Rafa di ruang tamu. Berganti pakaian, bercermin sekilas, membenarkan rambut yang sedikit berantakan akibat tadi mengenakan helm. Lalu menghela napas panjang, hari ini--acara bolosnya bersama Tama--terasa sangat melelahkan namun menyenangkan di saat yang sama. Sesuatu yang asing, euforia asing, yang menyenangkan.

"Abis dari mana, Kak? Kok kayak capek banget," celetuk Sila di atas ranjang. Hal yang Sica syukuri, meski mereka sekamar, ia dan Sila tetap memiliki ranjang sendiri-sendiri.

"Dari sekolah, La. Dari mana lagi."

Sila menggumam. "Kakak tau nggak? Nanti sore Kak Saka pindah ke rumah sebelah."

Sica memutar tubuh penuh ke arah Sila yang kini duduk di tepi ranjang--tengah mengikat rambut. Mata gadis itu menilik tak percaya, meskipun hatinya berharap agar apa yang dikatakan adiknya adalah benar. Bukan apa-apa. Saka kini tinggal sendiri, kalau ia pindah di sebelah rumahnya, Sica bisa dengan mudah bertandang dan menjalin pertemanan seperti yang Saka katakan beberapa waktu lalu. Lebi-lebih, Saka jadi tak perlu merasakan kesepian.

Gadis kelas dua SMP itu berdiri dan berjalan ke arah Sica. "Nanti sore kita bantuin beres-beres, yuk?"

"Boleh." Sica menahan senyum lebarnya, mengalihkan wajah dari Sila yang kini sudah keluar dari kamar. Membayangkan Saka akan tinggal di sebelah rumahnya membuat gadis itu merasa bahwa pertemanan barunya akan lebih menyenangkan dari pertemanannya dengan Rissa. Mereka akan mudah saling bertemu dan mengobrol di balkon yang hanya berjarak satu setengah meter. Atau di satu waktu, mereka bisa saling berteriak dari kamar masing-masing dan menyanyikan lagu secara duet hingga berakhir diteriaki tetangga lain. Atau seperti kisah-kisah romansa yang menyukai tetangga sebelah kamar dan saling mengintip di sebuah lubang kecil ciptaan yang disengaja.

Bayangan Sica terlalu jauh hingga gadis itu harus dibuat kaget oleh kehadiran Rafa di ambang pintu tengah melipat tangannya di dada. Sorotnya kecewa, seolah-olah pria itu mengetahui segala dosa besar Sica dan sama sekali tak bisa memberi pengampunan.

Keinginan Sica untuk bicara harus urung saat Rafa menghela napas kelewat keras. Tangannya turun dari dada dan masuk ke dalam kamar, lalu satu tangannya menopang di meja belajar. Matanya menatap ransel di atas kursi, buku-buku yang tertata rapi di meja belajar, ponsel yang tergeletak di atas meja bersama laptop, sebuah gelas plastik berisi pensil dan pena, pigura kecil berisi potret Riga, Sica dan Sila, lalu kembali menatap Sica.

"Kamu di mana jam setengah dua belas tadi?"

Ada sesuatu di pertanyaan Rafa yang membuat Sica merasa harus tercekik oleh napasnya sendiri. Sebisa mungkin Sica berkelit dari mata Rafa meski akhirnya terlihat sangat mencurigakan. Gadis itu menelan saliva memikirkan jawaban apa yang akan diberikannya. Jam setengah dua belas, namun jam sebelas Sica sudah keluar dari sekolah.

"Jujur, Sica."

Kepala Sica mengingat-ingat di sekitaran jam setengah dua belas sambil memundurkan waktu sebelum ia tiba di rumah. Rumah Tama--trotoar-taman dekat rumah sakit-rumah sakit-angkutan umum-dinding belakang sekolah....

Satu Waktu Ketika RemajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang