Bab 9: Titipan Surat Deera

138 32 11
                                    

"Woi, ah, Nino lo binal banget. Pelan-pelan dong, gue baru kalah sekali doang –ANJING, BENER-BENER LU YA!"

"Kartunya lo sembunyiin di mana, anjeng? Curang banget lo gue gak ikhlas!"

"Chakra bangsat belajar dari mana sih lo main kok menang terus?"

"Bang Bri babi itu lima kok lu tutupin pake tiga? Balikin gak anjing kartunya lu skip aja, goblok."

"Jan, lo kalo di kubu Bang Han udah gak lagi lo gue bayarin bensin."

"Anjing pake sendal biasa aja, goblok. Jangan pake terompa! Woi –BRI BANGSAT!"

Chakra tertawa, untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan lamanya. Suaranya terdengar bahwa dia sangat menikmati permainan. Matanya menyipit, bibirnya ia tutup dengan kartu domino di tangannya. Hari minggu pagi yang menghibur. Hari ini mendung lagi, memang sudah masuk musim penghujan.

"Yah, yah, masa Chakra lagi sih menang anjir," ungkap Zizi dengan kekecewaannya. "Lo mainnya kok jago sih, Chak?"

"Jangan bacot, Zi, lanjut aja. Gak mau kena tampol lagi gue," ucap Han serius.

Chakra tersenyum pelan. Kartu ditangannya sudah habis, tersisa Han, Bri, dan Zizi yang masih bermain. Sudah beberapa kali putaran, kali ini giliran Nino dan Jani yang jadi pemandu sorak. Hanya bertugas menyemangati dan kadang mengumpat.

"Iyo mana, Chak? Masih molor?" tanya Bri tanpa kehilangan fokus dengan kartunya.

"Tadi pagi pergi, sih. Tapi gak tahu kemana,"

"Paling jengukin Deeva tuh," Nino menimpali. "Kayak lagunya Mas Anang, separuh jiwakuu pergi..."

Han dan Bri mengernyit heran. Selain jadi tetua di sini, mereka memang enggak terlalu sering bertanya tentang kegiatan sekolah Zizi, Iyo, Jani, Nino, maupun Chakra. Jadi, mereka memang enggak tahu-menahu siapa Deeva.

"Deeva sape? Cantik kaga?" tanya Bri.

Nino dan Jani sedikit memajukan badannya, dengan sekuat tenaga mengeluarkan dua jempol miliknya. "Mantep lah, Bang!" kata mereka serempak.

"Giliran bening aja gesit lo," cerca Han.

Chakra hanya terkekeh, yang lainnya haha-hehe.

"Nah, hayolo Zi lo kalah sekarang. Sini kaki lo, babu!"

Zizi menahan tangisnya, sementara yang lainnya tertawa bahagia. Kini habis sudah telapak kakinya diserang oleh lima binal Kos 4.0. Jangan lupa, mukulnya pakai terompa.

***

Iyo berjalan lebih pelan, sedikit bingung. Membolak-balik lagi surat yang baru saja ia terima. Amplopnya berwarna coklat, hampir sama seperti kumpulan amplop milik Chakra. Awalnya Iyo bingung kenapa Chakra senang sekali mengoleksi amplop coklat, tapi hari ini, amplop ini lebih membingungkannya.

"Enggak salah baca, kan, gue?" ia bertanya-tanya sambil menggaruk tengkuknya. "Dari Adee—"

"Woi, Yo! Abis dari mana aja lu?" panggilan dari Bri membuyarkan lamunannya.

Iyo menggeleng pelan, enggak mau ambil pusing dengan surat itu. Toh, bukan untuknya.

"Ada lah, Bang. Misi rahasia," balas Iyo sambil tersenyum. "Eh, nih Chak. Ada surat buat lo."

Chakra mengernyit, menerima surat yang diberikan Iyo. Chakra menghembuskan napasnya. Tolong, jangan lagi.

"Gitu, No, kalo orang ganteng dapetnya surat," ucap Han sambil menggandeng Nino. "Lah elu malah dikasih ular."

Nino menghempaskan tangan Han yang sedari tadi menempel di bahunya. Segera mungkin pergi dari sana sambil menggerutu, membuat Han tertawa puas.

"Siapa yang ngasih ke sini, Yo?" tanya Chakra penasaran saat satu nama yang membuatnya kabur sejauh ini terpampang jelas pada bagian atas amplopnya.

Iyo melepas jaketnya. Kalaupun mendung, hawanya selalu panas setiap hari. "Tadi Abang Pos," jawabnya singkat lalu duduk di samping Bri.

"Jancok!" umpat Bri saat kepalan tangan Iyo mendarat keras di pertu gembulnya.

Iyo dan Han tertawa, sementara Chakra masih fokus dengan kiriman suratnya.

Dari Adeera Leony.







Hai, Junho! –ah, bukan. Chakra, ya sekarang? Mereka bilang, sih, begitu. Tapi apapun itu, Junho bakal tetap jadi Junho-nya Deera.

Junho, maaf.

Di satu waktu, terima kasih karena menemukan Deera. Anak kecil cengeng di taman bermain yang sejak hari itu senang sekali mencari kamu di rumahmu.

Junho, maaf.

Kalau sejak itu, Deera memang pernah sangat-sangat sayang. Tapi rupanya, kamu hanya bagian menemukan, dan Juan mengambil bagian untuk datang lalu kembali hilang.

Kupikir, itu hari paling menyakitkan yang kupunya. Padahal, tiap harimu bahkan cuma bisa pura-pura bahagia.

Tapi Junho, aku senang. Enggak peduli saat itu kamu cuma anak kecil bisu yang enggak punya teman. Tapi aku merasa ditemukan, dan kamu melengkapiku dengan kesederhanaan. Deera senang, jujur.

Junho, maaf.

Menyusup malam-malam ke kamarku, bermain gitar tanpa suaramu yang jadi pengiringnya. Membuatmu jadi satu-satunya penyusup dalam hidupku. Membuatmu merasa istimewa, tapi juga kecewa saat ternyata sudah Gara yang kupunya. Tapi Junho, itu benar. Kamu istimewa.

Junho, maaf.

Bahwa sampai detik ini, aku belum mampu jadi rumah untukmu. Dan sepertinya, memang enggak bisa. Kutemukan rumahku, jadi kamu juga harus.

Tapi Junho, jujur. Saat pertama kali kamu pergi, aku kacau. Bahwa saat itu aku hanya belum sadar, kamu mengambil sebagian dari hari-hariku. Tapi aku egois, memaksa diriku untuk pergi. Aku selalu bilang begitu. Aku suka suaramu saat pertama kali kamu berbicara. Aku senang, bahwa mungkin kamu enggak lagi repot-repot menulis saat mau menenangkanku. Aku senang pelukanmu, seakan kamu adalah hal ternyaman yang kupunya.

Tapi akhir kita memang bukan bahagia, Junho. Kutemukan Gara-ku, dan kamu juga harus begitu.

Lain kali, mungkin Gara mau diajak mengunjungimu. Salam ke Iyo, mungkin lupa dulu sering main teroris-terorisan bareng.

Semoga bahagia, ya, Junho. Jangan suka membohongi diri lagi. Kamu bakal temuin dia, mungkin segera juga.

Salam dari Jakarta, untuk Bandung yang masih membawa masa lalu bersamanya.



Chakra menatap depan tanpa berkedip. Patah hatinya mengirim surat, dengan amplop coklat yang ia berikan beberapa bulan lalu. Dan kali ini, dia yang ditemukan. Hanya saja, beda lagi takdirnya. Ia masih mencintai Deera, tapi Deera sudah sangat bahagia dengan Gara. Killian Anggara.

"Dari siapa, Chak?" tanya Han.

"Dari Adeera sih tadi gue baca. Emang siapa tuh, Chak? Cewek lo?" tanya Iyo lagi.

Chakra tersenyum pelan, ia menggeleng pelan. "Maunya," ia berdiri, berniat masuk ke kamarnya. "Sayangnya, bukan. Sayang, sayang banget kan."

Iyo, Bri, dan Han saling lirik satu sama lain, bingung dengan ekspresi Chakra. Menurut Iyo, itu adalah ekspresi paling frustasi yang Chakra punya.



Kalimat yang belum sempat dibaca Chakra;

Junho, sejujurnya, denganmu aku pernah jatuh cinta. Saat burung merpati yang kutitipkan surat cinta, kamu terbangkan begitu saja. Dan yang kutahu, semesta sudah menyuruhku menyerah kala itu.

Tapi Chakra memutuskan berhenti pada kalimat itu. Mungkin hingga amplop coklat itu usang, ungkapan itu akan tetap tersimpan. Chakra mencintai Deera dan memutuskan pergi demi kebahagiannya. Dan ternyata, Deera pun seempat menyukai Chakra lebih dulu, tapi memilih menyerah karena semesta memang suka semaunya.

***



ih woi kangen bgt dong sama deera-gara :(



Bagian Dua: C-sideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang