Bab 19: Lakuna

118 18 15
                                    

Bis hari ini ramai seperti biasanya. Bangku paling belakang adalah satu-satunya yang tersisa. Ya, tentu, itu bahkan muat untuk tiga orang. Iyo bermimpi indah semalam, tentang masa depan yang merangkul masa lalunya. Sedang Chakra bahkan tak terlelap semalaman. Dua aura yang berbeda dirasakan Sheilan, saat ia menjadi penengah diantara keduanya. Bangku paling belakang itu menjadi saksi, senyum Iyo dan murung Chakra menjadi kebingungan yang tiada habisnya bagi Sheilan.

Setelah kepulangan Deera kemarin, Chakra menjadi dua kali lebih pendiam dibanding sebelumnya. Sebuah perkiraan jitu dari Sheilan, tapi ia keliru karena sama sekali tak mempersiapkan dirinya untuk menghadapi ini. Chakra benar-benar enggak dalam mood yang baik. Earphone yang terpasang di telinganya seperti biasa, tatapan ke arah jalanan, dan semua pikirannya yang kacau. Chakra kebingungan setelah kehilangan Deera. Hidup harus terus berlanjut, tapi yang ia mau adalah Deera yang menemaninya.

Sheilan menyenggol lengan Iyo pelan, memberi kode agar ia berbicara kepada Chakra untuk mengurangi kesenyapan ini. Sheilan terlalu khawatir Chakra enggak akan berbicara lagi kepadanya. Iyo mengernyitkan sebelah alisnya. Ia tersenyum pelan, lalu sedikit menundukkan kepalanya, membisikan sesuatu kepada Sheilan.

"Enggak papa, Chakra emang suka drama anaknya," dan setelah itu, jitakan keras mendarat di dahi Iyo.

Iyo mengelus pelan dahinya, tapi tersenyum setelah itu. Setelah semua yang terjadi antara Chakra dan Deera, Iyo merasa ada baiknya membiarkan Chakra sendiri. Iyo juga pastinya enggak bisa membayangkan sulitnya menjadi Chakra, yang sudah sejauh ini hanya untuk patah hati, yang meminta digenggam tapi dilepaskan begitu saja. Ia tersenyum manis, naik bis ternyata enggak begitu menyenangkan kalau melihat Sheilan hanya mengkhawatirkan Chakra saat ia juga duduk di sampingnya. Dan lagi-lagi, Iyo hanya tersenyum. Memalingkan wajahnya ke arah jalan raya, dengan angin yang menerpa wajahnya, Iyo harus membiasakan dirinya untuk tak terluka.

***

"Lo gila apa, Ka? Enggak mungkin lah tiba-tiba enggak ada dana!"

"Ya, gue juga enggak tahu, Ngga. Kepsek bilang dananya bakal cair tiga bulan lagi,"

"Ya masalahnya pertandingannya dimajuin sebulan lagi!"

Angga mengacak rambutnya gusar, sementara Raka hanya terdiam. Mereka sedang ada di lapangan indoor, dengan Iyo yang hanya mendengarkan sambil memasukan bola ke dalam ring. Iyo terkekeh pelan, lucu melihat Angga yang gusar hanya karena sekolah enggan memberikan dana untuk pertandingan mereka yang tiba-tiba dimajukan sebulan lagi.

"Lo minta apa sih, Ngga, sama kepsek? Duitnya mau lo apain?" tanya Iyo tanpa melepaskan fokusnya pada bola di tangannya.

Angga memutar arah bola matanya, "Sejak kapan sih tanding enggak pakai modal, Yo?"

"Modalnya ya latihan. Duitnya patungan mending, jangan dibikin ribet,"

"Idih, mending beliin cewek gua boba,"

"Bucin!" sarkas Iyo yang disambut oleh tawa Raka.

Angga berjalan menuju pinggir lapangan mengambil handuk dan tasnya. "Laper nih gue. Kantin yuk?"

Iyo dan Raka saling melirik, "Enggak pusingin dana lagi lo?" tanya Iyo.

"Ngapain? Kan bisa patungan,"

"Ye, anjing. Kalau gitu ngapain dari tadi lo ngomelin gue? Mana guenya kicep lagi," kesal Raka yang disambut tawa oleh Iyo dan Angga.

"Santai, santai. Hari ini gue yang traktir, gimana?"

Raka dan Iyo otomatis saling melirik, mengernyitkan alisnya tanda setuju. "GAS LAH, BOR!" teriak mereka serempak.

***

Bagian Dua: C-sideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang