Bab 14: Pulang

195 22 34
                                    

Abel memiringkan kepalanya, kembali mengernyit melihat Chakra yang hari ini terlihat banyak tersenyum. Seakan cowok di sampingnya ini bukan Chakra. Benar-benar berbeda dari biasanya. Dimulai dari tadi pagi, Chakra mengelus lembut puncak kepalanya sambil tersenyum lebar.

Berangkat sekolah sama Iyo, ya, Abel.”

Abel sempat tertegun sebentar, tetapi kemudian lebih sering kebingungan. Jin mana yang sedang merasuki Chakra? Enggak mungkin Jin BTS, kan? Abel menggeleng. Enggak hanya itu, bahkan sampai di sekolah, Chakra masih tersenyum manis. Dan saat ini, Chakra mentraktir teman kos-kosannya. Zizi, Nino, Jani, Iyo dan dirinya sendiri. Mereka tentu saja senang, tapi apa hanya Abel yang merasa ini benar-benar bukan Chakra?

“Chak!” panggil Abel pelan, masih dengan kebingungannya.

Chakra menengok sebentar, “Hm? Kenapa, Bel?”

Abel kembali menganga. Serius, ucapan manis seperti itu mana mungkin bisa keluar dari mulut seorang Junho Chakrakasya. Enggak mungkin… atau Chakra sekarang sudah mulai terbuka, ya? Kalau begitu, kemenangan untuknya karena akan lebih banyak berbicara dengan Chakra.

“Enggak papa, Chak,” geleng Abel sambil tersenyum senang. “Abel suka aja lihatin Chakra,”

“Dih, dangdut lo!” sorak Nino cepat yang dibalas kekehan oleh yang lainnya.

“Makanya, No. Cari gebetan, biar gak sirik lagi lihatin orang,” ucap Jani yang masih dengan tawanya.

“Elo aja gak punya, sat,”

Mata Jani melebar, lalu menengok ke arah Zizi dan Iyo bergantian. “Belum tahu dia, gengs. Cewek mana yang enggak bertekuk lutut sama Leon Ivanel Janiansyah coba?” ucapnya sombong yang dengan sengaja dibalas anggukan oleh Zizi dan Iyo, berniat membuat sakit hati Nino.

“Rere tuh. Udah lo deketin berapa bulan malah jadian sama Akmal. Apa tidak malu lo bangsat ngomong begitu?” Nino ngegas yang langsung mencuri perhatian murid lain.

“Lah itu mah guenya aja yang bosen. Lo juga kan pernah nge-chat dia, tapi line lo langsung di-blok, kan? Ngaku deh lo!”

Iyo, Zizi, Abel dan Chakra tertawa, sementara Nino mendumel dalam hatinya. Memberi sumpah serapah kepada teman-temannya yang tanpa satu hari pun enggak menistainya.

“Gak asik banget, anjing. Gue terus yang kena,” kesalnya lalu meminum es jeruknya sampai habis.

“Ya lo cocok sih digituin,” balas Abel yang menjadikan ucapan Nino tempo hari sebagai bumerang untuknya. Nino mendecak sebal, lagi-lagi memang nasibnya yang seperti ini.







“Yo, dicari sama Angga tuh di lapangan indoor. Dia lagi bagiin surat dispen, hari ini lo ada seleksi turnamen,”

Iyo mengangkat sebelah alisnya karena ucapan Raka yang datang begitu tiba-tiba. “Turnamen? Bukannya tiga bulan lagi?” tanyanya bingung.

Raka terlihat kelelahan karena berlari dari lapangan ke kantin, menyeka pelan keringatnya lalu mengambil oksigen sebanyak mungkin. Ia merasa sesak napas. Bayangkan saja, sekolah mereka sangat besar dan jarak lapangan menuju kantin terasa begitu jauh. Raka enggak sanggup. Dia enggak akan mau lagi diperintah oleh Angga —ketua basket sekolah untuk berkeliling mencari Iyo atau yang lainnya. Enggak akan pernah lagi.

“Ya lo tanya aja lah sama ketua lo. Capek banget gue dibikin dari lapindo ke sini. Berasa babu gue, anjrit,” jawab Raka tanpa jeda. Masih dengan napas yang tersengal, ia menepuk bahu Iyo. “Buru, Yo. Angga bangsat ngancem gue gak dimasukin tim inti kalo lama,”

Iyo terkekeh, “Ambil posisi gue aja deh, Ka. Mau gak lo?”

“Mana mau si Angga. Yang dia percaya kan elo doang. Bukan cuma Angga sih, gue, anak-anak, sama Pak Raja juga naruh harapan besar ke elo. Pokoknya, nama lo pasti ditulis paling atas deh, baru setelah itu Angga,”

Bagian Dua: C-sideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang