Bab 22: Sampai Jumpa Di Lain Perasaan

90 13 1
                                    


"Sampai kapan sih, Lan, mau sembunyi terus? Malah duluan gue yang capek, tahu."

Ucapan Iyo dua malam yang lalu masih cukup membekas di ingatannya. Niatnya hanya membeli burger tapi malah sampai ke bahasan yang paling ingin Sheilan hindari. Dirinya dengan Deeva ada hubungan apa. Kalau Sheilan boleh menebak, bukan hanya Iyo yang penasaran tapi yang lainnya juga. Hanya saja, kemungkinan yang lainnya membiarkan Sheilan dengan privasinya. Sheilan pusing tapi tetap melanjutkan langkahnya menuju rungan bertuliskan angka 01 di pintunya. Iya, kamar Zizi.

Sheilan masuk tanpa mengetuk pintu. Niatnya memang hanya untuk menemui Zizi yang akhir-akhir ini jarang bersamanya. Pemandangan pertama yang dilihatnya saat menutup pintu adalah Zizi yang berbaring dengan buku di depan wajahnya. Sheilan tahu, Zizi tak benar-benar membacanya. Tanpa menunggu respon Zizi, ia sudah ikut berbaring di samping cowok itu. Matanya masih tak teralihkan, tapi yang Sheilan lihat, Zizi sama sekali tak fokus.

"Ngapain sih, Zi?"

Zizi menggerutu, mengacak rambutnya lalu mendumel sendiri. Ia meletakkan bukunya di samping, kali ini menatap Sheilan intens. Raut wajahnya terlihat frustasi, tapi matanya masih teduh seperti biasanya. "Apa yang lo suka dari Chakra, Shei?" tanya Zizi tepat memandang Sheilan.

Sheilan sedikit memperbaiki posisi tidurnya. Ia sedikit mengingat-ngingat ada berapa hal yang perlu disebutkan mengenai Chakra saking menariknya. "Chakra, ya? Ganteng, ganteng banget, sangat ganteng, ganteng kuadrat, gantengnya nggak nyelo, gan—"

"Enggak gitu, Shei, maksud gue," Zizi berdecak sebal.

"Lagian ngapain sih nanya begituan? Terus tumbenan juga lo manggilnya Shei bukannya Lan aja kayak biasanya?"

"Banyak tanya,"

Sheilan mengernyit heran, ada yang berbeda dari Zizi. Tapi Sheilan enggan bertanya, memilih berbalik badan dan segera tidur. Malam ini ia ingin menginap saja di sini. Zizi juga sedang dalam mood yang buruk, dan Sheilan enggak mungkin meninggalkannya. Sheilan mulai memejamkan matanya. Dia enggak perlu bertanya, toh Zizi akan bercerita sendiri kalau ia mau. Sheilan tak pernah memaksa.

Zizi menengok Sheilan yang kini memunggunginya, kedua lengannya ia gunakan sebagai bantalan kepalanya. Ia menghembuskan napasnya pelan. Selama ini, Zizi baik-baik saja bahkan jika berbagi kamar dengan Sheilan, tapi ini pertama kalinya dia ingin menendang Sheilan agar menyingkir dari kasurnya.

"Teteh gue dapet beasiswa,"

Sheilan sedikit membuka matanya namun enggan menghadap Zizi. Ia masih menunggu kelanjutan cerita Zizi.

"Abah bilang, gue harus kayak Teteh yang kuliah biaya sendiri. Gue berasa enggak guna jadinya,"

"Teteh mau nengokin gue. Gue takut insecure,"

Sheilan hampir saja terbahak saat Zizi mengatakan itu. Ia membalikkan badannya segera, meletakkan telapak tangannya di dahi Zizi.

"Hm, pantes," Sheilan mengangguk-anggukan kepalanya. "Gaada otak,"

"Serius napa, sih, Lan, sekali doang,"

Sheilan memutar bola matanya lalu duduk rapi di pinggir kasur. Pandangannya berhenti pada figura di atas meja. Sheilan ingat saat pertama kali Zizi bercerita tentang itu. Ingatan paling kuat dari masa kecilnya, saat ia dan keluarganya liburan bersama. Abah – Teteh – Zizi – Ibu. Zizi seringkali mengulangnya dengan urutan yang sama. Bahkan meski di foto, Zizi dan Abahnya tak pernah dekat.

Zizi ikut duduk di samping Sheilan, mengikuti arah pandangnya. Ia tersenyum pelan, ia bahagia di foto itu, sangat. Anak kecil yang polos, yang bahkan tak tahu beberapa tahun setelah foto itu diambil, ia takkan bisa sebahagia itu.

Bagian Dua: C-sideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang