“Eh, kemarin Chakra nyium gue loh, Yo!” beritahu Abel semangat pada Iyo yang sekarang hanya menatapnya malas.Rooftop lagi dan Abel sepertinya harus mulai terbiasa dengan kebiasaan Iyo; berbaring menghadap ke langit.
“Itu mulu dari tadi, bosen.” decak Iyo kesal karena lagi dan lagi, Abel menceritakan perihal ciumannya yang tiba-tiba dengan Chakra.
Sudah jadi sifat alami Iyo ketus terhadap Abel, dan Abel harus dengan ikhlas menerima itu. Toh, dari awal mereka juga sudah saling memberi batasan. Entahlah, tapi Iyo enggak mau jika itu berkaitan dengan perasaan. Cukup dia saja.
“Gak perhatian banget sih lo!”
“Gik pirhitiin bingit sih li!”
Abel mendecak sebal, meninju keras dada bidang Iyo. Harusnya dia memang enggak perlu bercerita ke Iyo, karena responnya pasti akan selalu begini. Si jutek yang paling malas kalau disuruh mendengarkan cerita yang itu-itu saja. Lagi-lagi, Iyo memang pantas sampai sekarang enggak punya pacar. Karena enggak mungkin nanti kalau kencan nonton bioskop, ceweknya dipaksa harus nonton thriller atau komedi. Udah lah, genre film kesukaan Iyo memang pas banget sama genre kehidupannya.
“Ck, Yo!” panggil Abel sembari menggoyangkan bahu Iyo. “Panas tahu di sini!”
“Udah tahu panas, ngapain nyamperin gue? Sana sama Chakra aja, halaman belakang adem tuh,” sindir Iyo tanpa memalingkan wajahnya.
Abel menghela napas, menarik keras lengan kiri Iyo. Iyo hanya memutar bola matanya malas sesaat setelah kepala Abel sudah dengan nyaman berada di lengannya. Mereka sama-sama terdiam. Bungkam dengan pikiran masing-masing. Iyo benci perasaannya, di mana satu sisi ia mau Abel selalu sedekat ini dengannya. Tapi di sisi lain, Iyo juga enggak mau Chakra patah untuk kedua kalinya. Iyo yang dalam hidupnya enggak pernah jatuh cinta —dengan kata lain cuma naksir-naksir doang, mungkin enggak akan apa-apa kalau patah hati cuma sekali. Menurutnya, cerita menyedihkan Chakra tentang surat dari Deera adalah hal paling memusingkan yang pernah dia dengar.
Iyo enggak pernah hidup begitu serius. Bahkan saat tersulit dalam hidupnya, Iyo enggak suka terlalu memusingkan sesuatu, membuat orang lain khawatir apalagi sampai merepotkan mereka. Menurut Iyo, biarlah semuanya jadi urusannya. Dan akan selalu jadi pertanyaan besar, apakah Iyo melakukannya karena takut merepotkan orang lain atau ia memang sama sekali gak percaya dengan mereka.
“Kenapa Bel?” Abel langsung menengok saat pertanyaan Iyo membuatnya bingung. Tanpa memalingkan wajah seriusnya, Iyo hanya menghela napas. “Kenapa bisa suka sama Chakra?”
Abel memandang lekat wajah Iyo, wajah yang berkali-kali menyelamatkannya. Garis wajahnya yang tegas, hampir sama dengan Chakra. Keduanya membuat Abel senang hanya dengan kehadiran mereka. Sayangnya, hanya Iyo yang bersedia meminjamkan lengannya.
“Enggak tahu,” jawab Abel pelan. “Gue kira, Chakra udah menarik perhatian gue sejak pertemuan pertama. Gue suka Chakra, karena dia Chakra. Karena kalo sama dia, risihnya berarti perhatian buat gue. Enggak tahu juga, tapi gue selalu penasaran tentang dia,”
Iyo mengangguk-anggukkan kepalanya pelan, “Karena lo berdua sama-sama bodoh. Sama-sama enggak mau membuka pintu yang kuncinya kalian pegang sendiri,”
“Maksudnya?”
“Kan udah gue bilang, IQ lo jongkok, gak cocok ngomong sama gue,” hela Iyo.
Abel mencebik kesal, memalingkan wajahnya cepat. Iyo memang selalu berhasil membuatnya kehabisan suara. Satu-satunya orang yang bisa membungkamnya bahkan tanpa berbicara.
“Bel!” panggil Iyo. Abel enggan menoleh, membuat Iyo meliriknya pelan lalu terkekeh setelahnya. “Lo tahu, Dito itu orang pertama yang gue tonjok murni karena kemarahan gue. Badan gue emang gede, tapi gue benci kalo dikit-dikit gunain fisik,”
KAMU SEDANG MEMBACA
Bagian Dua: C-side
Random"I'm on the way to lose myself cause loving him who fall for another." Part of 'Geosenthru' series. © lulsjournal, 2019