Yoona duduk diam di kursi makannya tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Ia menatap piring makanan yang ada di hadapannya. Bukan maksudnya untuk bermain-main dengan makanan, namun Yoona sama sekali tak memiliki selera makan.
Kwon Jaehee menurunkan garpu dan pisaunya. "Kau terlihat murung belakang ini. Kenapa?"
Yoona mengangkat wajahnya. "Tak ada apa-apa..., aku hanya...."
"Kudengar kau memiliki hubungan dengan seorang pria selama aku tidak ada." Jaehee meneruskan makannya. French steak memang paling nikmat dimakan dalam keadaan setengah matang dengan darah yang masih mengalir.
Wajah Yoona mendadak pucat pasi. Ia duduk terpaku di bangkunya. Rasanya kepalanya seperti baru saja dibenamkan ke dalam lautan es.
Jaehee meliriknya. "Ingat-ingatlah kata-kataku ini, Yoona. Kau adalah milikku. Tak ada seorangpun yang boleh menyentuhmu seujung rambutpun kecuali aku."
"Apa kau memata-mataiku?"
Jaehee menoleh Yoona dengan cara yang sama seperti seekor hyena tengah memandangi mangsanya yang tak berdaya. "Kau pikir aku akan membiarkanmu bergerak sesuka hatimu hanya karena aku tak ada di Korea? Kuberitahu satu hal, kau adalah milikku. Mainanku. Budakku. Tak boleh ada yang bermain-main denganmu selain aku."
"Hanya itukah arti diriku bagimu? Sebuah mainan untuk memuaskan hasratmu? Barang tak berharga yang kau sebut sebagai milikmu?"
Jaehee tertawa dingin. "Bukankah memang begitu? Aku memberimu uang. Aku memberimu pekerjaan. Aku memberimu makan. Aku yang membuatmu masih bisa hidup sampai sekarang. Jika bukan karena belas kasihanku, kau dan teman-temanmu sudah akan mati kelaparan dan menjadi makanan anjing!"
Kedua tangan Yoona menggelenyar menahan amarah serta rasa terhina. Ia merasa begitu direndahkan sampai-sampai harus merapatkan gigi geliginya.
Jaehee menyeringai, ia sangat menikmati rasa marah dan rasa hina yang tercetak nyata di wajah Yoona. "Belajarlah untuk bersikap manis, Yoona. Sebagaimana layaknya binatang peliharaan di hadapan majikannya."
"Kenapa tak kau lepaskan saja aku? Aku sama sekali tak ada artinya bagimu----"
Jaehee menyunggingkan sebuah seringai mengerikan di wajahnya. "Apa aku lupa mengingatkanmu kalau kau adalah mainan favoritku? Hah, bagaimana mungkin aku akan membiarkanmu pergi?"
"Kau tahu aku sama sekali tak mencintaimu...." Yoona menatap Jaehee bagaikan seekor merpati yang telah kehilangan asa untuk terbang bebas, "mengapa kau masih juga mempertahankanku...?"
"PRAAANG!"
Jaehee menyapu piring makannya hingga terbanting ke atas lantai marmer. Pecahan piring tersebut mengenai wajah Yoona. Pipinya yang mulus tergores hingga mencucurkan darah."Aku tak peduli apa kau mencintaiku atau tidak! Tapi aku tak bisa kehilangan apa yang sudah menjadi milikku. Aku tidak sebaik itu!"
Yoona menggigit bibir. Segores darah di pipinya mengucur hingga ke dagunya. Rasanya perih. Namun bukan luka di wajahnya yang perih, melainkan hatinya yang telah lama berkubang dalam nestapa. Seperti inilah nasibnya, terpasung oleh rantai tak kasat mata. Ia telah menjual hidupnya kepada seorang iblis. Bahkan seekor burung dalam sangkarpun masih jauh lebih beruntung daripada dirinya....
Jaehee mendesis tanpa memedulikan darah yang masih menetes di wajah Yoona, "dan jangan kau coba-coba mengkhianatiku. Nyawa Seohyun ada di dalam tanganku. Bagaimana kalau... Aku tak sengaja mencabut mesin penopang hidupnya? Apa yang akan terjadi pada adik kesayanganmu itu?"
"Kumohon jangan!" Yoona segera berlutut mendengar ancaman Jaehee. "Aa... Aku... Aku takkan pernah meninggalkanmu...."
Kwon Jaehee kembali duduk bersandar di atas kursi makannya yang mewah. "Nah, akhirnya kau paham. Kembalilah ke kursimu."
KAMU SEDANG MEMBACA
TEARS: Drawing Our Moments | Vyoon Fanfic
FanfictionCinta tidak pernah salah. Taehyung mengira cintanya akan membuat Yoona bahagia, tapi ia keliru. Cintanya malah menjungkir-balikkan dunia mereka. Apa jadinya kalau seorang suruhan mafia jatuh cinta pada seorang gadis yang tidak memiliki apa-apa? Itul...