18. MUHAMMAD AL-FATIH DAN SHALAHUDDIN AL-AYYUBI

25 2 0
                                    

Bismillah...


Oleh: KH Hafidz Abdurrahman

****

Para kesatria tidak lahir sendiri, tetapi dilahirkan. Di balik mereka ada orang-orang hebat yang mencetak mereka. Itulah fakta di balik sosok hebat, seperti Muhammad al-Fatih dan Shalahuddin al-Ayyubi.

Tulisan ini untuk mengisi ruang baca kita, sekaligus menggugah kesadaran kita, ketika kita memperingati Pembebasan Konstantinopel, sebagai langkah menapaki kembali bisyarah kedua, bahwa harus ada kesadaran untuk melahirkan kembali generasi Muhammad al-Fatih dan Shalahuddin al-Ayyubi. Sebagaimana Muhammad al-Fatih dan Shalahuddin mendapatkan kemenangan dan pertolongan, Muhammad al-Fatih bahkan berhasil mewujudkan bisyarah Nabi yang sudah dititahkan 800 tahun lamanya, sekaligus mentahbiskan dirinya sebagai peraih bisyarah itu, semua itu membutuhkan persiapan.

Pendek kata, generasi Shalahuddin al-Ayyubi dan Muhammad al-Fatih itu dilahirkan dan dibentuk, bukan terlahir dengan sendirinya. Pertanyaannya, bagaimana melahirkan kembali generasi seperti mereka?

Membangun Kedisiplinan Sejak Dini

Allah menuturkan karakter manusia, “Inna al-Insana khuliqa halu’an, idza massahu as-syarru jazu’a” [Sesungguhnya manusia itu diciptakan dalam keadaan keluh kesah. Ketika ditimpa keburukan, pasti berkeluh kesah] [Q.s. al-Ma’arij: 19-20]. Itulah sifat asli manusia. Santai, malas, dan tidak ingin susah. Karakter seperti ini jika dibiarkan, dan tidak dibentuk sejak dini, maka sampai tua akan tetap seperti itu.

Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan, bahwa kesungguhan [jiddiyah] itu harus dibentuk. Kesungguhan itu berbanding lurus, antara rencana dan realisasi, antara cita-cita dan realita. Ketika kita mempunyai cita-cita atau rencana, tetapi realita dan realisasinya tidak ada, maka itu merupakan bentuk ketidakseriusan. Karena itu, kesungguhan harus dibentuk.


Dari sini, kita paham, mengapa Zubair akhirnya menjadi kesatria hebat, sehingga disebut Hawariyyun an-Nabi, yang sanggup membela Nabi hingga tetes darah terakhir? Karena didikan ibunya yang keras dan disiplin sejak kecil. Hal yang sama dilakukan Zubair kepada Abdullah, putranya dengan Asma’, sejak dini, ketika usia 8 tahun sudah diajak berjihad di jalan Allah.

Ketika ada seorang Muslim, apalagi aktivis dakwah, mengadopsi konsep psikologi Barat, dengan konsep Liberalnya, kemudian anak-anaknya dibiarkan tumbuh dengan kebebasannya, yang terjadi adalah, ketika tumbuh dewasa anak-anaknya susah diatur. Tidak disiplin. Untung kalau masih bisa diselamatkan. Kalau tidak, maka wassalam. Mengapa bisa demikian? Karena tidak mempunyai konsep yang benar tentang kesungguhan [jiddiyah], dan bagaimana membentuk kesungguhan itu pada anaknya. Parahnya lagi, dia ambil konsep Barat, yang jelas bertentangan dengan pandangan hidupnya. Maka, ibarat nasi sudah menjadi bubur. Waktu, dan umur tidak bisa ditarik kembali. Sesal lelalu di kemudian.


Bacalah, biografi Ibn ‘Abbas, Imam Syafii, Imam an-Nawawi, sampai al-Hafidz Ibn al-Jauzi. Mereka adalah ulama’ yang ditempa sejak dini. Usia dini mereka habiskan bukan untuk bermain. Usia dini mereka gunakan untuk belajar dan menuntut ilmu. Begitu juga dengan Shalahudin dan Muhammad al-Fatih.

Disiplin adalah ketaatan pada aturan atau hukum. Ketaatan ini lahir dari keyakinan, bagi orang dewasa. Tetapi, bagi anak-anak yang belum bisa berpikir, ketaatan ini lahir dari pembiasaan. Maka, anak yang tidak dibiasakan dengan perintah dan larangan, anak-anak seperti ini tidak akan mengerti disiplin. Itulah, mengapa Nabi menitatahkan, agar anak-anak itu sudah harus dititahkan untuk shalat saat usia 7 tahun. Dipukul saat usia 10 tahun.

Para Ulama’ dan Kuttab

Di zaman Khilafah, anak-anak usia dini dididik di Kuttab. Di sini mereka belajar membaca, menghapal dan memahami al-Qur’an, termasuk hadits Nabi. Kalau kita ke Mesir, Kuttab tempat Shalahuddin al-Ayyubi itu dididik masih ada. Tempatnya bersebelahan dengan makam ayahnya, Najmudin Ayyub. Saya juga baru tahu, setelah Syaikh al-Azhar menjelaskan Kuttab dalam tradisi mereka. Di Kuttab itu, para Syaikh membawa rotan, panjangnya satu hasta. Anak-anak yang tidak disiplin dalam belajar, akan dipukul dengan rotan itu.

Ini seperti kisah Muhammad al-Fatih yang dipukul oleh gurunya dengan rotan, saat enggan mengikuti titah Syaikh-nya. Begitulah kisah Kuttab, ulama’ dan anak-anak didik yang dididik di Kuttab ini. Tak ada kata mudah dalam belajar. Sebaliknya, belajar itu pahit, kata Imam Syafii. Karena itu, dibutuhkan bimbingan para ulama’. Di tangan merekalah, tumbuh dan lahir generasi hebat seperti Muhammad al-Fatih dan Shalahuddin itu.


Generasi Shalahuddin lahir dari Madrasah Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilani. Ulama’ ahli fiqih, mazhab Hanbali, yang zuhud, wara’, dan sikapnya luar biasa terhadap penguasa pada zamannya. Madrasah Syaikh ‘Abdul Qadir ini sesungguhnya melanjutkan Madrasah al-Ghazali, yang lahir sebagai pembaru Islam, tiap 100 tahun sekali. Dengan kitab Ihya’ Ulumiddin-nya, beliau telah berhasil merekonstruksi gambaran Islam, yang sudah terkoyak-koyak oleh berbagai praktik penyimpangan.

Iya, ulama’ yang mempunyai tsaqafah, dengan visi dan kesadarannya yang luar biasa, berhasil membumikan kembali peradaban Islam, membersihkan berbagai penyimpangan, dan mencetak generasi terbaik memimpin perubahan. Itulah Madrasah al-Ghazali dan Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilani, yang telah berhasil melahirkan generasi Shalahuddin al-Ayyubi.


Hal yang sama juga terjadi pada generasi Muhammad al-Fatih, yang dilahirkan oleh ulama’ hebat di zamannya. Sebut saja, Syaikh ‘Aq Syamssudin dan al-Qurani. Kedua ulama’ inilah yang membentuk tsaqafah, pribadi, akhlak dan kepemimpinan Muhammad al-Fatih, sehingga berhasil mewujudkan bisyarah Nabi yang sudah berumur 800 tahun lebih. Perpaduan antara kekuatan ilmu, kepribadian, ketaatan, kesadaran dan visi politik yang luar biasa. Lahirlah, dari tangan ulama’ yang luar biasa itu generasi yang juga luar biasa.

Tiga Kekuatan

Manusia mempunyai potensi yang luar biasa. Mereka mempunyai kekuatan fisik (materi), seperti fisik dan senjata, sekaligus kekuatan non fisik (ma’nawi), seperti emosi, karena tersinggung, marah dan suka. Tetapi, yang lebih dahsyat lagi adalah seorang Muslim. Selain dua kekuatan tersebut, seorang Muslim mempunyai kekuatan spiritual (ruhiyah), yang tak terbatas.

Jika seorang Muslim sanggup menggabungkan tiga kekuatannya, ditambah kesadaran politik yang sempurna, maka umat Islam akan menjadi umat terbaik, dan tak terkalahkan dalam sepanjang sejarah. Itulah sejarah yang diukir oleh Shalahuddin al-Ayyubi, maupun Muhammad al-Fatih. Sejarah heroisme. Sejarah kepahlawanan. Sejarah kemenangan demi kemenangan. Sejarah yang lahir dari ketekunan, kesabaran dan dedikasi para ulama’, dengan halqah, Kuttab dan Madrasah-nya yang luar biasa.


Karena itu, Barat sengaja membidik dunia pendidikan, mengubah kurikulum, dan merusak orientasi pendidikan di dunia Islam. Karena mereka tahu, dari dunia pendidikan inilah, generasi Shalahuddin al-Ayyubi dan Muhammad al-Fatih itu dilahirkan. Tetapi, dunia Islam hari ini berbeda dengan masa lalu. Umat Islam sudah sadar, dan ingin kembali kepada agamanya. Meski berbagai upaya untuk menghalangi langkah itu terus dilakukan oleh penjajah dan antek-antek mereka.

Tetapi, yakinlah, semuanya itu akan sia-sia. Ketika kurikulum jihad dan Khilafah dihapus dari sekolah, mereka masih bisa mempelajarinya di masjid-masjid, di kantor-kantor, atau di majelis taklim. Ketika umat diadudomba dengan perbedaan fikih, dan perselisihan mazhab, lambat tapi pasti mulai tumbuh kesadaran untuk meninggalkan semua perbedaan itu. Merajut ukhuwah dan persatuan.


Sampai pada akhirnya, benar-benar generasi Shalahuddin al-Ayyubi dan Muhammad al-Fatih itu dilahirkan kembali. Umat pun siap memberikan pengorbanan terbaik, dan pemimpin sekaliber Shalahuddin al-Ayyubi dan Muhammad al-Fatih pun terlahir di tengah-tengah mereka. Saat itu, kemenangan yang dijanjikan pasti akan kembali.

Wallahu a’lam.

MENUJU JANNAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang