It hurts the most when you can actually feel your heart breaking.
Guyuran ribuan air yang jatuh dari shower itu menyegarkan pikiran Singto yang memanas, ia tak habis pikir bisa-bisanya Krist memberikan alamat apartemennya pada wanita tersebut. Untuk apa? Bukankah tidak ada apapun di antara mereka? Kenapa pria itu masih saja terus memikirkan cinta sepihaknya, padahal jelas-jelas di sampingnya ada Singto. Apa dirinya itu tidak terlihat. Tangan pria itu mengepal, tak pernah rela jika orang yang ia sayangi dipermainkan, hanya menjadi tempat bernaung ketika di butuhkan.
Apa-apaan itu?
Dada Singto terasa sesak, ada sesuatu yang panas membanjirinya, hingga ia bahkan tak bisa berpikiran dengan jernih segala membuat isi pikirannya mendidih.
Apa seperti ini yang namanya cemburu?
Padahal biasanya ia tak pernah peduli pada Krist, mau pria itu melakukan apapun. Singto membiarkannya saja, tetapi kali ini ia tak bisa melakukannya. Ia hanya ingin untuknya sepenuhnya, tak ingin membaginya dengan orang lain. Singto tak bisa membiarkan bayang-bayang buruk itu menghantuinya.
Ia mengusak surainya frustasi. Cinta itu rumit dan Singto membencinya! Ia membenci fakta jika ia mulai menyukai Krist! Singto tak bisa menerima hal ini.
Tangan Singto meraih handuk, melingkarkannya pada pinggangnya sebelum berjalan keluar, menyudahi aktivitas mandinya dan melangkahkan kakinya menuju kamar dengan gontai. Siapa menyangka jika ada sosok Krist yang sudah menunggunya, ia menatap Singto dengan kesal, seolah dirinya baru saja membuat kesalahan yang cukup fatal.
"Kenapa kau menatapku seperti itu?"
"Apa yang kau katakan pada Namtan."
"Aku tidak mengatakan apapun."
"Kau pikir ini lucu?"
Singto tersenyum sinis, sepertinya ia ketahuan pasti wanita itu mengadu pada Krist, sudah Singto duga. Ketidaksukaannya pada wanita itu menjadi bertambah.
"Kau yang lucu, dia itu tak menyukaimu. Kau hanya pelampiasannya ketika dia tengah ada masalah dengan kekasihnya. Apa kau tak lihat betapa mirisnya dirimu?"
"Miris?" Krist tak percaya mendengarnya, "katakan sekali lagi."
"Kau sangat miris mengemis cinta pada wanita yang jelas-jelas tak pernah melihatmu."
Tanpa aba-aba apa-apa pun satu pukulan mendarat pada wajahnya. Singto tak kaget ia menyeka ujung bibirnya menggunakan punggung tangannya. Ia melihat Krist yang menatapnya marah, tetapi ia lebih marah. Seseorang yang selalu bersama Krist selama ini itu Singto, yang selalu ada dan membantunya itu Singto, bukan wanita itu. Kenapa Krist masih saja membelanya.
Singto puas ketika Krist marah, itu artinya ucapannya tepat. Krist yang bodoh dan masih berharap, padahal kenyataannya ia hanya menjadi pelarian.
"Hanya segitu kemampuanmu? Mau memukulku lagi?" Singto maju ke arah Krist, sembari memajukan wajahnya, seolah menantang sosok Krist, "kenapa kau marah? Aku benarkan? Berhenti memikirkan wanita itu! Aku tidak suka dia terus mengusik hidupmu dengan tidak tahu malu."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Phoenix: Street Fighter [ Peraya ]
Fanfiction[Completed] Krist-petarung jalanan yang menguasai ilmu bela diri kickboxing dan dijuluki Phoenix, karena bisa mengalahkan para lawannya dengan keahliannya hebat yang dirinya miliki, meskipun taruhannya adalah nyawanya sendiri, tetapi ia tidak pernah...