You will never find a reason when love someone, it's because a true love comes with no logical reason.
Satu pukulan dengan mudah ia hindari begitu saja. Krist memposisikan dirinya dengan benar, agar pertahanan kokohnya tak mampu di runtuhkan oleh sang Lawan. Ia mengamati gerakan lawannya, mencoba mencari tahu titik kelemahannya, sebelum mengayuhkan beberapa pukulan pada sosok kekar di hadapannya yang memandangnya dengan tatapan seolah ingin membunuh Krist dan ia hanya membuat isyarat lakukan itu jika ia bisa, karena Krist takkan dengan mudahnya jatuh begitu saja, meskipun ia akui pukulan pria itu lumayan juga, sebab beberapa kali menghantam pipinya, meskipun ia tak merasa sakit. Mungkin karena sudah terbiasa, jadi sebesar apapun luka yang dia alami tampak ringan, walau kenyataannya tidak untuk orang lain.
Ia menyeka keringat yang mengalir pada keningnya dengan pergelangan tangannya, pandangannya lurus ke depan, sebelum melayangkan satu pukulan lagi yang mengenai lawannya tepat pada wajahnya, tak menyia-nyiakan itu Krist memberikan satu tendangan keras, yang ia tahu orang lain takkan pernah bisa bangkit lagi setelahnya.
Dan dalam hitungan beberapa waktu, Krist lah yang keluar menjadi pemenangnya di akhir, ia melangkahkan kakinya untuk pergi, seperti biasanya mengasingkan dirinya dari keramaian yang memekakkan telinga. Pandangannya terarah pada satu sudut, seperti tengah mencari seseorang, sebelum ia memutuskan untuk menghilang dari tengah keramaian setelahnya.
Ia melangkah pergi mendudukkan dirinya pada bangku kosong pada tempat yang sepi, mengusap keringatnya dengan handuk kecil yang dirinya bawah, akan tetapi ada sesuatu yang terlebih dulu menyentuh keningnya, jemari seseorang itu dengan lembut menyeka keringatnya.
"Aku mencarimu dari tadi, ternyata kau di sini."
Krist tak menanggapi Singto, ia ingin merapikan barang-barangnya dan pergi, tetapi Singto melarangnya menarik Krist untuk duduk, ia mengeluarkan sesuatu dari dalam kantung yang dirinya bawa, sedikit menyibak surai panjang Krist yang jatuh dari jutaan pasangannya yang di ikat ke belakang itu, Singto menyelipkannya di antara telinga Krist. Mengusap pipi Krist yang terlihat memar, yang langsung di tepis Krist.
Kedua sudut bibir Singto tertarik ke atas membentuk senyuman, sebelum mengoleskan sesuatu ke sana dengan lembut.
"Apa sakit?"
"Tidak perlu berbasa-basi."
"Hei, aku hanya mengkhawatirkanmu."
"Aku tak butuh rasa khawatirmu."
Singto menghembuskan napas beratnya berkali-kali, ia heran pada Krist ketika ia baik itu akan menjadi kesalahan Singto. Padahal ia hanya menyampaikan rasa simpatinya pada Krist, ia melakukan hal ini karena Singto peduli, hingga lupa jika sosok yang ia khawatirkan tak pernah memperdulikannya. Singto heran, apa Krist tak pernah mengganggapnya ada barang sekali saja?
"Tidak bisakah sehari saja kau tidak setegang ini? Kita kan teman."
"Teman?"
Bibir Singto bungkam, sepertinya ia salah bicara, apa lebih tepatnya yang menggambarkan hubungan mereka? Tidak ada, ini rumit. Jangankan untuk memperjelas hubungan mereka, Singto saja sebenarnya tak paham, apa rasa yang ia pendam untuk sosok tersebut. Mungkinkah ia benar-benar mencintai seperti yang orang lain bilang atau mungkin hanya ketertarikan belaka sama seperti yang sudah-sudah?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Phoenix: Street Fighter [ Peraya ]
Hayran Kurgu[Completed] Krist-petarung jalanan yang menguasai ilmu bela diri kickboxing dan dijuluki Phoenix, karena bisa mengalahkan para lawannya dengan keahliannya hebat yang dirinya miliki, meskipun taruhannya adalah nyawanya sendiri, tetapi ia tidak pernah...