Saat ada seseorang yang bisa membuatmu menjadi seseorang paling bahagia dan menyedihkan di saat yang bersamaan, itu artinya kau menjatuhkan pilihan yang tepat.
HAMPIR 30 menit lebih Singto-sosok yang tengah duduk menyendiri menunggu seseorang yang sudah berjanji untuk datang--lebih tepatnya ia yang memaksa pria tersebut, Singto mengakuinya.
Pria berkulit Tan dengan surai hitam pekat, dengan kedua manik coklatnya itu terus mengetuk-ngetuk meja kafe tempatnya menunggu. Ia gusar, jujur saja mungkin seseorang yang sudah berjanji padanya akan ingkar, bukannya ia punya pikiran buruk, tetapi isi pikiran kawannya itu tidak dapat di tebak dengan mudah. Jemarinya menyisir helaian surai bagian atasnya yang memanjang tersebut sebab sedikit berantakan, tak membiarkan menyentuh bagian samping surainya yang sudah di pangkas tipis, ia menatap rambut undercut barunya tersebut. Tidak ada yang aneh dari penampilannya, yang Singto kini perlukan hanyalah kesabaran untuk menunggu.
Ia sadar, bahkan sangat sadar. Ketika seseorang pria duduk tanpa permisi di hadapannya dengan wajah tak berekspresi sedikitpun. Bahkan menyapanya pun tak mau, padahal mereka cukup akrab--bagi Singto.
Untuk mengucapkan kata 'hei' saja, sepertinya sosok itu enggan. Ia mengamati sosok di sampingnya, lalu tersenyum simpul. Ia menyiapkan dirinya sebaik mungkin tetapi lihatlah sosok di sampingnya. Ia memakai kaus lusuh berwarna hitam, lengkap dengan jaket tipis yang membalut lekukan tubuh kekarnya, berbanding terbalik dengan Singto yang memakai kemeja biru tuanya, bahkan pria itu hanya memakai celana pendek biasa, jadi bisa di bayangkan seberapa formalnya pakaian Singto sekarang?
Padahal ia sudah mengatakan, ingin mengajak Krist pergi berdua, tak mungkin ia mengatakan dengan gamblang kalau ingin mengajaknya pergi kencan, bukannya mendapatkan apa yang ia mau, mungkin Krist akan memakinya dan mengatakan ia menjijikan.
Singto menatap sudut bibir pria tadi yang robek, bahkan ada beberapa bekas samar merah yang kini hampir membiru pada pipi serta dagunya. Jemari Singto terulur untuk menyentuhnya, akan tetapi yang ia dapatkan hanya tepisan kasar. Ia lupa kalau Singto tak punya hak untuk menyentuhnya, sebab Krist tak menyukainya.
Pasti orang lain akan bingung, jika interaksi kecil saja ia tak bisa melakukan dengan Krist. Bagaimana keduanya menjadi 'teman tidur' kalau di sentuh saja Krist tidak mau, seperti yang Singto katakan sebelum kalau Krist bukan orang yang mudah di tebak, ia bisa menjadi agresif dan pasif tergantung waktunya. Meskipun ia akan tetap pada kebisuannya sepanjang waktu. Ia cenderung pria pendiam, yang benar-benar susah untuk di tangani.
"Untuk apa kau menyuruhku ke sini?"
Sosok itu memandangnya dengan malas, tergambar jelas dalam pancaran matanya, ia bahkan sesekali menatap sekitar, seperti seseorang yang terganggu, mungkin karena banyak pasang mata yang menatapnya. Ia memang terlihat biasa dan berantakan, tetapi itu daya tarik tersendiri membuatnya secara tak sengaja menjadi pusat perhatian. Mirip badboy impian para-para gadis pemimpi Singto dapat mengakui itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Phoenix: Street Fighter [ Peraya ]
Fanfic[Completed] Krist-petarung jalanan yang menguasai ilmu bela diri kickboxing dan dijuluki Phoenix, karena bisa mengalahkan para lawannya dengan keahliannya hebat yang dirinya miliki, meskipun taruhannya adalah nyawanya sendiri, tetapi ia tidak pernah...