[ Epilog b ]: Let Me Hear You Say It

2.4K 217 42
                                    

Detakan jam dinding tersebut menemani sosok pria yang kini hanya terduduk di atas sofa berwarna abu-abu miliknya, ia hanya diam dan menatap ke arah tirai jendelanya yang terbuka, menampilkan suasana malam di sekitarnya, terasa sangat senyap serta sepi. Krist memalingkan wajahnya ke arah pintu, beberapa waktu lalu pria tadi memaksa untuk masuk dan mengatakan ingin membicarakan sesuatu, akan tetapi tentu saja Krist tak membiarkan hal itu terjadi. Ia tak mau melihat Singto lagi, jadi bagaimana bisa dengan tidak tahu malunya Singto masih berani menampakkan dirinya di depan Krist? Bagaimana bisa ini terjadi?

Raut wajah pria itu keruh, bahkan untuk beranjak dari tempatnya duduk saja, Krist enggan. Semuanya terasa hambar, pikirannya mendadak sedikit kosong, bahkan dadanya bergemuruh. Rasanya ia ingin membunuh pria tersebut, tetapi terlalu malas untuk meladeni Singto. Terlalu lelah dengan apa yang pria itu coba lakukan, lebih baik Krist langsung memotong akar masalahnya di sini yaitu tak menemui pria tersebut dari pada harus memperumit hidupnya.

Apakah Singto pikir semudah itu?

Dia menghilang dan tiba-tiba kembali lalu mengucapkan kata rindu, maka semuanya akan baik-baik saja? Apa segalanya sesimpel itu? Bukankah ini benar-benar tidak masuk di akal?

Krist menyandarkan kepalanya pada sofa, sembari melipat kedua lengannya di atas wajahnya, tak mau memikirkan lagi. Toh, tadi ia sudah mengusirnya dan Krist tak menyesal untuk hal tersebut. Krist tak menyesal melakukan hal ini, karena menurutnya segalanya benar.

Beberapa menit kemudian hal aneh terjadi, ada yang menekan password rumahnya dari luar, Krist langsung bangkit karena tidak ada yang tahu tentang ini kecuali Max tetapi untuk apa pria tersebut pergi ke sini tengah malam?

Hanya saja sewaktu Krist mendekat ia terkejut melihat sesosok pria yang harusnya tak bisa masuk itu kini berada di satu tempat yang sama dengannya.

"Bagaimana bisa kau masuk ke sini?"

"Aku memasukan password yang benar, bukankah itu mudah?"

"Keluar!"

"Tidak mau! Di luar dingin, tega sekali kau padaku. Aku ingin bicara denganmu, aku tidak akan pergi sebelum kau mau bicara padaku!"

"Aku tidak sudi bicara denganmu."

Krist menghampiri pria tersebut dan ingin menyeretnya keluar, Singto langsung berlari menjauh tak mau Krist menangkapnya dan melemparkannya keluar setelah Singto berhasil masuk ke dalam tempat ini. Bahkan pria tersebut memeluk dinding penyangga agar Krist tak bisa menyeretnya keluar, Singto benar-benar tidak mau pergi. Sekalipun Krist terlihat sangat amat marah padanya.

"Kau!" Krist memiting leher pria tadi, "aku bilang pergi! Harusnya kau pergi! Menyingkir dari pandanganku!"

"Aku tidak bisa bernapas, jangan seperti ini."

"Aku tidak peduli."

"Krist, aku ingin bicara."

"Apa yang ingin kau bicarakan? Bukankah sudah jelas? Aku tidak mau melihatmu."

"Kenapa? Apa alasannya?"

Tak ada jawaban dari Krist, ia benar-benar kesal. Tangan pria itu melepaskan Singto sebelum ingin mencengkeram lengan sosok tadi, benar-benar akan melemparkan Singto keluar rumahnya, akan tetapi Singto justru membalikan tubuhnya dan memeluk Krist. Raut wajah Krist yang dingin itu berubah menjadi datar, tak berekspresi sama sekali.

"Biarkan aku memelukmu seperti ini, sebentar saja. Setelah itu aku akan pergi," Singto menyandarkan kepalanya pada bahu depan sosok tersebut, "apa kau takut Istri dan Anakmu tahu? Tidak masalah, aku bisa jadi yang kedua."

"Kau tidak punya hak untuk memelukku," Krist menyingkirkan Singto yang tak mau menjauh, "aku tidak sudi bersamamu."

"Aku tahu, bahkan sangat tahu. Bahkan untuk menemuimu seperti ini aku tidak punya hak. Aku tahu kau pasti sangat marah dan membenciku. Berhentilah berpura-pura, karena aku tahu tentang segalanya."

The Phoenix: Street Fighter [ Peraya ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang