PART 15

969 47 5
                                    

"Sadar! Ketulusan itu cuma ada dalam dongeng!"

Berlari mengitari lapangan yang luasnya sudah seperti lapangan stadion sepak bola. Keringat sudah membasahi dahi dan lehernya. Dua putaran sudah dilalui. Kini tinggal dua puluh delapan putaran lagi. Sesekali Anneth memegangi perut yang terasa sakit karena berlari.

Maklum setiap pelajaran olahraga Anneth selalu bermain petak umpet dengan pak Bisma-guru Olahraga. Saat sesi lari mengitari lapangan sebanyak lima kali, saat itu juga sesi Anneth untuk mengumpet di toilet. Dan saat tugas lari tinggal setengah putaran barulah ia muncul di barisan paling belakang. Keringat khas orang berlari dibuat dari cipratan air yang sengaja diteteskan di dahinya.

"Untung guru. Kalo enggak udah gue tonjok."

"Yang bener aja, suruh lari di jam dua belas tepat."

"Emang niat banget bikin muridnya sengsara."

"Dikiranya gue flash apa? Yang larinya cepet."

Saat semua umpatan dilontarkan. Suara hentakan kaki semakin mendekat. Dahi Anneth mengernyit saat sosok cowok menyandingi dirinya. Cowok dengan dasi yang sengaja diikat dikepala.

"Ngapain lo?"

"Lari." jawabnya santai berlari menyamai kecepatan Anneth.

"Balik sana!" kata datar menatap lurus garis lapangan.

"Buat apa? Ujian gue udah kelar."

Kelar? Perasaan gue baru lari.

Memang wajar jika Deven sudah selesai. Pasalnya semenjak soal dibagikan, cowok baru itu terus fokus pada soal dan lembar jawaban.

"Sana! Gak usah ganggu gue," ujar Anneth mendorong tubuh Deven. Walau pada akhirnya ia sendirilah yang terpental karena tubuh atletis Deven.

"Gak mau." terjeda cukup lama. "Pokoknya gue mau temenin lo."

Jengah menghadapi orang satu ini. Anneth memilih diam dan berlari lebih cepat dari kecepatan lari Deven. Lima putaran berlalu. Udara yang semakin panas membuat tenggorokan mengering. Oase air terjun muncul di depan mata, namun ia hanya bisa menelan saliva yang kering.

"Minum?" sodoran air mineral nyata di depan mata. Entah kapan cowok itu membeli. Tapi yang jelas air mineral itu terlihat begitu dingin, sejuk dan segar. Ingin rasanya langsung menyerobot dan meneguk saat itu juga. Tetapi rasa bimbang muncul. Reflek Anneth menarik garis bibirnya ke bawah.

"Udah minum aja," kata Deven lagi.

Sekarang ia menarik paksa tangan Anneth untuk menggenggam sebotol air mineral. Dengan ragu namun pasti ia segera meminum. Aliran dingin langsung mengalir di tubuh. Rasanya begitu segar.

"Duh keringetan ya?" telapak tangan Deven mengelap keringat yang sedang mengalir di dahi Anneth. Kenapa gadis itu malah diam meski alisnya terus menaut. Tangan itu benar-benar tulus. Tatapan itu benar-benar tulus. Setiap uluman senyum itu tidak pernah direkayasa.

Sadar! Ketulusan itu cuma ada dalam dongeng!

"Apasih lo! Modus!" Anneth menepis tangan Deven dari dahinya. Sedangkan yang ditepis hanya membalas dengan senyuman.

I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang