Sore hari pukul empat lebih dua puluh menit waktu Belanda, aku turun di bandara Internasional Schipol, Amsterdam. Hari pertama menginjakkan kaki di negeri Kincir Angin seorang diri, rasanya sesuatu yang sangat membanggakan sekaligus menakutkan. Bagaimana nantinya, selama dua belas bulan ke depan, aku akan tinggal di sini untuk menyelesaikan program belajar di jurusan Master of Media Innovation. Sampai detik ini, semua masih terasa seperti mimpi.
“Haloo Miss, can I help you?” sapa seseorang dibarengi dengan colekan di pinggang. Aku terkejut dibuatnya.
Rio cengengesan. Tampaknya bahagia sekali mengagetkanku. Ini kali kedua kami bertemu muka, masih sama seperti satu setengah tahun lalu dia manis, ramah, dan perhatian.
Dulu, aku mengenalnya ketika salah satu alumni kampusku mengajak Rio datang dalam peringatan Dies Natalies. Padahal, yang namanya Ario Manggala berasal dari kampus lain. Aku tak tahu awalnya, kukira dia alumni kampusku pula. Kami berkenalan di salah satu booth yang menjual kerajinan tangan produksi rumahan, lalu bertukar akun sosial media. Dari sana, kedekatan berlanjut sampai sekarang.
Laki-laki keturunan Jawa-Medan ini juga jadi salah satu alasanku mengundi nasib untuk bisa kuliah di Eropa. Tepatnya Belanda, di mana Bang Rio tengah menyelesaikan pre-master dan akan melanjutkan ke jenjang Master of Science Leisure and Tourism Studies. Di kampus yang kutuju di beberapa jurusan, memiliki tahap awal pembelajaran sebelum masuk program master. Kalau dipikir, mirip S2 di Indonesia bedanya di sini dua kali wisuda dengan gelar berbeda, pre-master dan master.
“Jadi, kita langsung ke stasiun atau ….” Aku menggantung kalimat.
“Kamu tidak sabaran ternyata, lebih antusias dari yang aku kira,” balasnya sebelum berlalu sambil menyeret koperku.
Aku tertawa kecil, menyadari bahwa dia ternyata lebih bawel dari yang kukira. Atau mungkin kami memang saling mengira-ngira selama ini. Entahlah, yang pasti aku tidak mau dia meninggalkanku sendiri.
“Tunggu.”
Aku memanggilnya tidak terlalu keras, karena takut dianggap tidak sopan. Sayangnya, Rio memang seperti sengaja membuatku kesal. Dia terus berjalan, aku melihatnya mengecek ponsel ketika sampai di luar bandara.
“Aku bisa hilang kalau sendirian,” keluhku saat berhasil menyusul.
“Tidak mungkin. Di Belanda tidak ada orang yang mengenal Dewi Anindita selain aku, untuk siapa pula ada yang mau menculikmu? Nilai IELTS-mu saja mentok di titik minimal.”
“Terus saja meledek. Sini koperku, aku mau ke Breda sendiri.”
Aku merebut pegangan koper, balik kanan lalu melangkah menjauhi Rio. Terdengar suara tapak kakinya mengejarku.
“Dew, aku sudah pesan Uber. Sebentar lagi datang.”
Aku menghentikan langkah. Benarkah?
“Sudah menuju ke sini,” katanya lagi ketika aku balik badan.
“Baiklah, apa kita akan ke Breda naik Uber?”
“Tidak, hanya ke stasiun. Seratus kilometer dari sini, akan memakan banyak waktu dan biaya. Atau kau yang mau membayar?”
“Siapa takut, aku yang bayar.” Bang Rio mengecek ponselnya, mungkin berniat mengganti tujuan. “Tapi naik kereta,” tegasku.
Sontak pandangan Bang Rio dari layar ponsel beralih padaku. Dia tertawa, aku pun sama. Terkadang persahabatan di usia dewasa masih saja seperti anak kecil. Atau mungkin kekanakkan khas itu yang membuatku betah dan merasa nyaman saat mengobrol dengannya.
Uber kami sudah datang sebelum tawa mereda. Sopir itu gegas turun, membukakan pintu untuk kami, penumpangnya. Ah, ramah sekali, andai semua sopir jasa antar di Indonesia seperti itu, pasti menyenangkan. Rio berbincang sedikit dengan sopir itu, yang masih tampak muda. Aku rasa dia pun mahasiswa, terlihat dari pakaiannya yang kasual rapi dan ada tas punggung tergeletak di bangku penumpang depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOOP LIEFDE [Sudah Terbit]
General Fiction"Kau memang pemantik, namun hanya hatiku yang terbakar." Ario. Belanda menjadi saksi kisah Dewi dan Ario yang berjuang meraih cita dan cinta. Mampukah keduanya meraih?