Selesai dengan artikel kedua, kubuka file terakhir yang wajib dibaca sebelum masuk kelas dua jam lagi. Aku menarik buku catatan di sebelah laptop dan meraih pulpen untuk menulis bahan pertanyaan. Sekilas kulirik Anna yang berkerut dahi menatap layar komputernya sendiri. Kami duduk menghadap satu meja di depan gedung kampus utama. Ketika baru menulis satu kalimat, kudengar Anna mengerang pelan.
"Ada apa?" Aku bertanya tanpa melihatnya.
"Aku mulai bingung," jawab Anna, seperti orang putus asa.
"Aku tidak mengerti di beberapa bagian, dan kenapa Rio belum juga datang?"
Padahal dia janji mau membantu tentang materi yang aku rasa berhubungan dengan jurusannya. Rio, kami ... aku dan dia masih belum mau mengikat hubungan dengan lebih jauh. Meski kedua orang tua sudah bertemu dan setuju agar kami segera bertunangan. Akan tetapi, menurutku belum untuk sekarang. Aku dan dia harus sama-sama fokus menyelesaikan studi tanpa terdistraksi oleh kehidupan pribadi.
Melanjutkan pendidikan dengan beasiswa bukanlah sesuatu yang mudah, ada beban yang rasanya begitu berat kutanggung. Terutama tuntutan untuk lulus tepat waktu, dengan nilai yang baik. Dengan sistem pendidikan yang berbeda seratus delapan puluh derajat dengan pola belajarku dulu di Indonesia. Sampai sekarang, aku masih tergopoh beradaptasi. Bukan tidak bisa, tapi rasanya belum mampu. Seperti apa yang terjadi sekarang, ini sudah masuk quartile kedua, harusnya aku tak perlu mengeluh tentang materi dan artikel-artikel ini.
"Anna ...," panggilku, menjeda menulis beberapa pertanyaan di kertas. Anna berdehem tanpa melihatku. "Tiba-tiba aku takut."
Itu tadi ungkapan jujur. Dia mendongak sekarang, menatapku sambil bertumpu kedua tangan di atas meja. Sesaat, kami bersitatap.
"Apa yang kau takutkan?"
"Ujian, magang, tesis, semuanya."
Anna merapatkan bibirnya, tampak berpikir tapi tak juga keluar jawaban. Angin menerpa kami yang berada di ruang terbuka, sementara jejeran sepeda di depan kampus semakin banyak karena mahasiswa berangsur datang. Aku mengusap lenganku sendiri, masih dengan benak yang mulai kewalahan mencerna materi. Mataku memerhatikan deretan huruf di layar komputer, tapi tak benar-benar membaca isinya.
"Kalian sedang apa?"
Aku menoleh seketika mendengar pertanyaan itu, tepat ketika Rio mengambil duduk di sampingku. Dia memakai jaket denim panjang warna biru muda, lengkap dengan aksesoris syal dan penutup kepala. Musim dingin tak banyak membawa salju turun, tapi suhu bekunya tetaplah menusuk tulang. Bagiku yang baru sekali merasakan cuaca musim dingin, sempat kesulitan tidur beberapa hari. Penghangat ruangan tak banyak membantu ketika suhu melewati titik nol derajat celcius.
Namun, melihat Rio seperti ada hawa panas menjalar. Senyumnya mengalihkan pikiran yang tidak menentu. Aku terkadang merasa dibuat gila olehnya, meski diriku tak pernah menunjukkan itu.
"Hei," sapa Rio, melambaikan tangan di depan wajahku. "Apa ada yang aneh?" tanyanya.
Oh tidak, aku pasti tersenyum konyol tadi. Seketika aku melempar pandangan pada Anna. Dan si pirang itu cekikikan menertawaiku. "Oh ini, artikel yang aku ceritakan tadi malam," jawabku, menunjuk layar komputer jinjing.
Rio mulai membaca dengan agak keras, seolah aku tidak bisa membacanya sendiri. Lalu dia menjelaskan beberapa kalimat dan istilah yang tidak aku mengerti. Jurusan kami bertiga berbeda, tapi merupakan irisan dari Media dan Games dengan spesialisasi masing-masing.
"Sedikit membantu," pungkasku saat Rio berhenti menjelaskan.
"Lain kali, kau harus membaca ini sehari sebelumnya, dan mengulang lagi sebelum masuk kelas," saran Rio.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOOP LIEFDE [Sudah Terbit]
General Fiction"Kau memang pemantik, namun hanya hatiku yang terbakar." Ario. Belanda menjadi saksi kisah Dewi dan Ario yang berjuang meraih cita dan cinta. Mampukah keduanya meraih?