Bagian Delapan

14 2 1
                                    

"Kalian mahasiswa internasional?" tanya wanita paruh baya yang berbagi meja dengan aku dan Rio.

Aku tersenyum, mengiyakan. Sekilas, aku melirik Rio di sebelah kiri. Tak lama kemudian dia menjawab dengan bahasa Belanda beraksen Indonesia. Terdengar lucu, hingga aku menahan tawa.

"Aku bisa bahasa Inggris." Wanita itu menegaskan.

"Ya, aku tahu hanpir semua penduduk di Belanda mahir berbahasa Inggris." Kali ini Rio membalas dengan bahasa Inggris yang sangat fasih, kadang aku iri karena merasa tidak sepandai dia dalam berucap.

"How about Netherland?"

"Beautiful country," jawabku singkat. Rasanya, ada dorongan yang membuatku ingin ikut mengobrol.

Wanita itu bercerita tentang carnival tahunan yang sebentar lagi akan tiba. Breda adalah kota kecil yang begitu hangat, menyenangkan dan menggembirakan. Di sini, semua terasa aman dan nyaman. Diam-diam aku menyetujui hal itu. Satu lagi yang aku suka, di sini ramai tapi tidak bising. Di sepanjang jalan dan sudut kota terdapta kafe-kafe kecil atau rumah makan yang memiliki menu khas masing-masing.

Ciri khas Breda di mataku, tempat makannya tidak banyak menyediakan menu. Hanya satu atau dua menu unggulan dan dilengkapi pilihan minuman. Salah satu tempat yang selalu ramai adalah Ginneken Markt, taman kecil dengan pohon di tengah dikelilingi meja payung yang tertata rapi. Terkadang, aku ke sana bersama Anna hanya untuk membeli es krim lalu duduk-duduk sambil belajar.

"Enjoy your dinner, doei," pungkas wanita paruh baya itu sebelum beranjak.

Aku mengamati orang asing tadi, mengikuti ke mana perginya sampai dia tak terlihat. Breda, kota kecil yang bagiku begitu memesona. Kembali aku beralih pandangan ke Rio. Laki-laki itu duduk tenang menyantap stampot. Dulu aku merasa aneh menyantap makanan lembek itu, tapi kini sudah terbiasa walau tak semengenyangkan nasi putih.

Stampot adalah olahan kentang rebus yang dihancurkan kasar atau halus, lalu dicampur dengan sayur, ikan atau daging. Cara makannya diberi saus khusus, yak lupa mayonais.

"Kenapa melihatku seperti itu?"

"No, nothing. Terima kasih sudah membawaku ke sini."

"Tak perlu berterima kasih, kita pulang sekarang?" Rio tersenyum lebar padaku.

Aku mengiyakan ajakannya dengan seulas senyum, lalu kukeluarkan uang dari dalam tas. Sudah jadi kebiasaan, aku tak suka ditraktir makan. Meski itu oleh Rio atau Anna, mereka kadang bilang sesekali tak apa.

"Like usual we do?" tanya Rio, nada bicaranya seperti menyindir.

"Yeah, let's go dutch," jawabku sembari menahan senyum.

Rio kemudian melambaikan tangan, agar pelayan kafe datang membawa tagihan. Di dalam tagihan tersebut tertulis rinci menu apa saja yang kami pesan dan berapa harganya. Jadi, kami mengeluarkan uang sejumlah dengan apa yang kami makan. Ya, itulah yang disebuh go dutch atau going dutch, yang artinya bersikap seperti orang Belanda yang mandiri dan cukup individual kalau urusan makan. Go dutch bukan membagi sama rata, tapi bayar masing-masing.

"Kau mau jalan-jalan?" tanya Rio saat kami sudah duduk di atas sepeda.

"Sekarang kenapa lewat sini?" Aku bertanya balik karena di melewati jalan yang berbeda lagi sebelumnya.

Aku memang belum hapal nama-nama jalan di sini, tapi cukup tahu arahnya. Kami bergerak di tepian kanal, hendak menuju gereja ikonik di kota kecil nan padat ini. Sekilas aku mengamati punggung Rio, dia begitu baik dan perhatian. Akan tetapi ....

"Dew, boleh aku bertanya?"

"Tanya apa?"

"Kau apakah masih punya urusan dengan laki-laki itu?"

"Berhenti, tolong! Pintaku, tak lama kemudian laju sepeda memelan lalu berhenti di tepian jalan dekat jembatan penyeberangan. "Ik versta het niet."

"Sorry, aku tidak bermaksud mengusik masa lalumu kalian. Saran dariku, jika kalian masih punya urusan yang perlu dibicarakan, bicarakan saja."

"Tidak, kalau memang apa untuk apa aku menghindarinya."

Tak tahu apa yang salah, tapi aku sadar nada suaraku meninggi. Aku kecewa, sebab Rio seolah berusaha membangkitkan kenangan pahit itu. Masa lalu yang kalau bisa ingin rasanya kuhapus dari memori. Aku sedang berusaha untuknya.

Reflek, aku menutup mulut dengan tangan kanan. Menghalau dingin, juga menahan diriku mengungkapkan kekesalan pada Rio.

"Hei, jangan menangis. Maaf, aku minta maaf."

Rio menyentuh lenganku, tapi kutepis segera. Maaf, itu saja tak akan cukup. Rio harus sadar bahwa dia menekanku, mengintimidasiku, dan membuatku merasa bersalah ada di sebelahnya sekarang ini.

"Kau mau mengantarku pulang, atau aku akan pulang sendiri?" Aku mengancam.

Sungguh, aku tidak tahan lagi membicarakan semuanya. Jika memang ada, aku akan mengurus masalahku sendiri dengan Gilang. Rio tak perlu tahu, kenapa dia seolah bebas masuk lalu mengatur apa yang harus aku lakukan dan tidak.

"Naiklah, kita pulang." Rio menegakkan sepedanya lagi, menggerakkan kepala agar aku naik ke boncengan.

"Apa laki-laki ini mengganggumu?" Suara seorang laki-laki mengejutkanku.

Seketika aku urung membonceng, lalu menoleh ke sumber suara yang berasal dari arah belakang kami. Rio pun turun.

"No, he is my friend," jawabku ragu, tapi jelas terdengar.

Rio, bergerak mendekat. Dia berdiri di sebelah dengan satu tangan tetap memegangi sepeda.

"Ada masalah, Pak?" Rio bertanya sopan, nada suaranya datar dan tenang.

"Kau tak menyalakan lampu." Salah satu dari polisi di depan kami menunjuk sepeda Rio.

Oh tidak. Kami tidak menyadari hal itu sejak tadi. Aku benar-benar lupa dan tidak memastikan fungsi lampu sepeda Rio. Aku menatap wajahnya, firasatku jadi tidak enak ketika melihat air muka Rio yang tiba-tiba merapatkan bibir.

Perlahan Rio menekan tombol lampu dan seketika itu aku ingin berlari menjauh. Lampu sepeda kami padam. Tidak menyala sama sekali.

"Salah satu dari kalian harus ikut kami."

"Tapi, Pak ... apa tak bisa diberi surat tilang saja." Aku memohon, tak mungkin membiarkan Rio berurusan dengan polisi.

"Tidak, itu sudah peraturan."

"Ga weg."

"No, I can't."

"Anything will be fine, trust me." Rio menyentuh lenganku, terasa menahan cukup kuat.

Air mataku lolos.

"Ga weg, Dew. Now!"

"Lewat sini!" Salah satu polisi mengambil-alih sepeda Rio.

Sementara satunya mendorong punggung Rio agar berjalan lebih cepat. Aku harus bagaimana sekarang?



Bersambung ....

Haiii seperti janji saya tempo hari, insyAllah cerita ini akan update rutin sampai  tamat. Semoga ada yang nungguin hehe ....

Btw, perlu saya beri footnote terjemahan bahasa Belanda-nya ndak ya? Hmmm kasih ndak, ya ....

HOOP LIEFDE [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang