Bagian Enam Belas

20 4 0
                                    

Rio, dia memandangku dengan tatapan yang tak mampu kuartikan. Apakah seluruhnya ada amarah di sana, ataukah hanya sekadar dia tak suka dengan keputusanku. Sesaat kemudian aku beralih pada Gilang, seseorang yang pernha mengisi masa laluku itu mengendurkan genggaman tangannya di pergelangan tanganku.

"Kau boleh pergi," ucap Gilang dengan senyum tipis terulas.

Aku balik mengamati air muka Rio, dia tak juga berucap satu kata pun. Aku harus bagaimana sekarang. Gilang atau Rio ....

"Kau bilang akan pergi bekerja, di sinikah pekerjaan barumu. Bersamanya."

Aku terkesiap. Tak menyangka Rio akan mengatakan hal seperti itu, kasar. Laki-laki yang berdiri di depanku sekarang, dia sungguh berbeda. Tidak. Bukan. Dia seperti orang lain, ke mana perginya Rio yang dulu begitu sabar dan selalu mau mendengarku?

Mataku seketika berembun, sesak menyesak gumpalan yang tertumpuk di sudut hati. Rio, diakah ... atau aku harus kembali pada ....

"Haii, seorang putri tidak boleh menangis." Gilang memperingatkanku.

Seseorang yang pernah mengisi masa laluku, ya dia masih sama. Manis dan selalu berusaha menghibur. Bohong jika aku berkata tak pernah kehilangannya, keping-keping cinta itu masih berserak di sana. Gilang mengusap pipinya sendiri, meminta agar aku meniru apa yang dia lakukan.

Menunduk sesaat, aku mengusap sis air mata dan mencoba tersenyum sekali sebelum memberanikan diri menatap mata Rio. "Aku tidak tahu kalau resto tempatku bekerja akan tutup tiga hari ke depan."

Kalimatku rendah dan berusaha netral. Aku tak ingin menunjukkan luka hati, dan tak mau terlihat bodoh dengan bersikap cengeng di hadapan Rio. Pun Gilang.

"Kau tidak mengatakannya." Rio menyanggahku.

"Mengatakan apa?" Aku tidak sepenuhnya paham.

"Kau tetap diam setelah tahu libur bekerja. Lalu pergi bersamanya, ke carvival?"

"Rio, can you stop it?! Berhenti menyalahkan Gilang atas kesalahan yang kau lakukan."

Aku tidak tahan lagi. Rio, dia sungguh keterlaluan. Aku menengadah, menatapnya tajam dengan seribu kekesalan terpendam. Dia tidak belajar dari keadaan, tak mengoreksi dirinya sendiri, dan terus saja menunjuk Gilang. Gilang. Gilang. Gilang.

"Aku? Apa?" Rio tampak santai menunjuk dada dengan kedua tangan.

"Rio dengar, kau membatasiku. Kau tidak bertanya, bersedia atau tidak aku. Bagaimana mauku, apa pendapatku?"

"Kau sering berubah pikiran, Dew. Lihat dirimu sekarang!"

Aku tersentak, dia menunjukku tepat di depan wajah.

Sontak Gilang bergerak mendekat, dia yang sedari tadi berada di samping kananku melangkah maju. Gilang menurunkan tangan Rio, lantas memosisikan badan berdiri di depanku. Kini antara aku dan Rio, jelas ada Gilang dalam artian yang sesungguhnya ataaupun tersirat. Tangisku merebak kembali, aku lelah ada di situasi ini.

"Kau hanya masa lalunya." Rio menghardik Gilang dengan bahasa Indonesia.

"Benar, jika kau merasa pantas menjadi masa depannya, perlakukan dia dengan baik. Atau aku si masa lalu akan memperbaiki kisah usang itu."

Aku melihat keduanya bergerak semakin dekat. Cukup. Aku tak mau ada keributan.

"Hentikan! Gilang, bukankah kita harusnya melihat-lihat festival?" Aku menahan segenap amarah yang ada di ujung lidah.

Sekilas aku melirik Rio. Dia tampak kecewa, tidak suka. Akan tetapi, aku tak peduli. Rio tidak akan kumaafkan sebelum dia menyadari kesalahannya.

"Jadi, kau memilihnya setelah orang tua kita saling bertemu." Rio mengeluh, lirih tapi aku mendengarnya.

HOOP LIEFDE [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang