Batas waktu yang aku minta sudah habis, dua hari sangat cepat berlalu. Harus bagaimana sekarang? Apa jawaban yang harus kuberikan untuknya? Semua ini terlalu mendadak, dia tak memberiku isyarat apa pun lalu tiba-tiba ....
Ponsel yang tergeletak di meja lampu tidur berdering sebentar, panggilan telepon itu mengalihkan pikiran kalutku. Aku menunduk untuk melihat jam tangan, dan baru sadar kalau hampir satu jam lamanya duduk di depan meja rias memikirkan Rio.
Ario Manggala, dia laki-laki yang baik, perhatian dan aku menyukainya. Akan tetapi, tidak lebih dari seorang adik menyayangi Kakak. Hanya sebatas itu. Dengan enggan aku berdiri, meraih ponsel, mengusap layar dan mendapati namanya terpampang jelas di sana, Abang Rio.
Aku baru niat menghubungi balik saat ada pop up masuk, sebuah pesan yang bertuliskan, 'Aku tunggu di student office. Tangga kedua, kiri.'
Student office? Aneh. Dari semua bangunan kampus Breda University, kenapa dia memilih student office untuk menemuiku lagi, setelah melamar kemarin tulat. Apa ini semacam kamuflase, atau memang jawabanku tak terlalu diharapkan olehnya?
'Kamu tidak berniat membiarkanku menunggu sampai semua orang pulang libur semester, 'kan?'
Aku tersenyum konyol, masih bisa-bisanya dia mengirimkan pesan candaan seperti itu. Rio, setelah lama mengenalnya aku tahu dia laki-laki yang pandai menjaga perasaan. Dan kerap menutupi emosi dalam diri, manajemen egonya baik sekali. Karena itulah, aku sangat nyaman bersamanya, nyaman, ya, nyaman. Apa mungkin ini hanya nyaman? Sedang aku sadar, tak sanggup membayangkan dia pergi.
Seketika teringat soal lamaran, tanganku gemetar. Sulit rasanya menelan air ludah sendiri sembari memasukkan ponsel ke tas, menyelempangkannya ke pundak. Aku berkemas dan keluar kamar untuk menemuinya.
Di setiap jejak kaki inginku memperlambat waktu, tapi aku harus tetap datang. Rio, dia menungguku sekarang. Bukan lagi sebagai seorang sahabat atau adik, melainkan penentu keputusan untuk masa depannya.
Air mataku lolos saat menuruni tangga apartemen putri, aku masih tidak tahu harus menerima atau menolaknya. Aku tidak tahu."Dew." Aku berhenti di tengah-tengah tangga. Menoleh ke atas lagi memandang siapa yang memanggil.
Teman sekamarku, Anna berlari mendekat. Dia gadis tinggi semampai keturunan Belanda-Indonesia, satu-satunya teman dari angkatanku yang bisa bahasa Indonesia. Beruntungnya kami bisa meminta tinggal di apartemen yang sama, dekat dengan kampus Breda University of Applied Sciences.
"Are you okay?" tanyanya saat melihatku mengusap pipi.
Aku mengangguk.
"Dew, aku tahu ini tak mudah. Jujurlah, akui kata hatimu."
Anna memelukku setelah mengatakan itu, terdengar napas berat yang dia embuskan. Aku sendiri makin tak kuasa membendung tangis, ini sulit. Sulit melepas tapi aku tidak ingin memilikinya. Haruskah aku mengatakan hal ini pada Rio?
Kami berpisah, aku melanjutkan pergolakan batin seorang diri. Sesekali aku mengeratkan pelukan di tubuh saat berjalan melewati taman, dan tempat parkir sepeda, lalu berbelok melewati depan gedung kampus Media dan Games.
Musim gugur selalu membawa angin dan suhu udara tidak menentu di awal Desember. Daun pepohonan di sepanjang mata memandang hampir semua menguning, akan jatuh berserakkan jika tertiup angin kencang yang selalu datang. Belum lagi ditambah rintik hujan yang berkesinambungan jika sedang rindu turun. Belanda adalah negara yang dekat dengan laut, itulah sebabnya curah hujam di sini sangat tinggi.
Aku berhenti sesaat ketika berdiri di depan Student Office, kantin cantik yang hampir seluruh bagian dindingnya terbuat dari kaca tembus pandang. Di dalam sana ramai dan penuh. Semua orang tampaknya mencari kehangatan di suhu delapan derajat celcius siang ini. Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat Rio. Dia sahabat yang sudah kuanggap Abang, sedang duduk di lantai dua sebelah kiri dekat tangga manual, sendiri berhadapan dengan laptop.
Angin menerpaku lagi, lebih kencang hingga mengibarkan salah satu ujung pasmina yang kupakai. Beberapa mahasiswa melewatiku, sedikit berlari karena rintik mulai membasahi apa pun yang ada di bawah langit sekarang. Aku pun bergerak, seorang mahasiswa bertubuh jangkung, berambut coklat dan bermata biru terang tiba-tiba memayungiku sampai depan kantin. Kuucapkan terima kasih padanya, dia hanya tersenyum sambil menutup payungnya.
Sebelum meninggalkannya yang mengemasi payung, aku meminta izin masuk kantin dulu. Aku tak ingin makan atau minum. Kakiku terus melangkah, naik lewat tangga kedua. Ada dua tangga naik yang dipisahkan oleh undakan mirip tangga, tapi lebih lebar dan besar diameternya. Di pemisah tangga itu, sering digunakan mahasiswa untuk berdiskusi.
Kusapa Rio dengan salam, dia menjawab santai seperti biasa dan tampak sangat tenang.
"Bagaimana rencana liburan, sudah dapat tiket pulangkah?" tanyaku ketika menggeser kursi yang ada di seberang meja.
Tak lupa aku tersenyum pada dua orang mahasiswi yang berbagi meja dengan kami, mereka pun baru duduk. Memang begini kalau Student Office sedang penuh, satu meja yang memiliki empat kursi tak jarang digunakan bersama oleh orang lain. Bahkan, kamu bisa saja nimbrung duduk dan tak akan ada yang mengusik atau mengusirmu sekalipun tidak kenal dengan siapa berbagi meja.
"Kau bagaimana?" Bang Rio balik bertanya.
"Sudah, tanggal 21 aku pulang. Kau sendiri?"
"Kenapa bersikap formal seperti Anna?" Rio menutup komputer jinjingnya, sedikit meringis mencandaiku.
Benar apa yang Rio katakan, pertanyaanku formal sekali. Dia memutar-menggoyangkan gelas sebelum menenggak jusnya. Di sini memang jarang menggunakan sedotan, diet plastik dan pengurangan semua barang yang terbuat dari bahan tersebut sudah lama diterapkan.
Aku tersenyum paksa, antara kami sekarang menjadi canggung. Ada ketidaknyamanan yang meretih di sekitar, aku tak mampu memungkiri itu. Aku rasa dia pun merasakannya, semua jadi aneh.
"Akan bagaimana sekarang?" tanyaku terus terang.
Aku berterus-terang, mempertegas lebih dulu. Sebab ingin tahu apa Bang Rio masih menunggu jawabanku atau dia akan membiarkan lamarannya menggantung tanpa kepastian. Akan tetapi, itu tidak mungkin. Dia pasti menanti, meski terkesan tak peduli tentang jawabanku.
"Bagaimana apanya, Dew? Herfst menuju winter, semakin dingin setiap harinya ke suhu terendah, apa kita akan mengikuti perubahan itu atau mencoba membuat api unggun," ucapnya masih dengan nada datar.
Sepenuhnya aku paham isyarat yang dia lontarkan. Mengikuti suhu mendingin, sama dengan kami saling menjauh, menjaga jarak dan membiarkan semuanya. Mataku mengembun, aku tidak mengira Rio akan mengatakan itu. Entah, apa ini, rasanya aku kecewa, tidak terima.
Di sisi lain, aku tidak ingin mengubah apa pun yang sudah terjalin.
"Bolehkah aku hanya jadi pemantik api saja? Tanpa perlu membuat apinya berkobar seperti unggun." Aku membalas dengan isyarat yang seirama.
"Tidak, Dew. Mungkin kau tidak sadar, bahwa kau memang pemantik. Sayangnya hanya aku yang terbakar, sedang hatimu tidak."
"Bukan begitu."
"Lalu apa, aku tahu masih ada bara menyala yang mudah membakar hatimu lagi. Sayangnya, itu perasaan yang kau simpan untuk mantan dan masa lalumu."
Rio berdiri, membereskan barang-barang, memundurkan kursi, lalu memanggul tasnya. Tepat ketika dia mengucap salam, air mataku jatuh. Hatiku, kenapa tidak bisa dengan mudah menerima Rio, tapi aku tak ingin kehilangannya. Apa sebenarnya yang aku inginkan?
Bersambung ....
Halooo jumpa lagi kita, setelah lama aku bertapa. Awal tahun, kita bertemu lagi di challenge kece. Semoga betah mengikuti kisah ini, yang akan menemani kalian selama beberapa bulan ke depan.
Eh, boleh tahu nggak apa kesan kalian setelah membaca chapter satu ini? Tulis di sini, yak ....
Salam Literasi
KAMU SEDANG MEMBACA
HOOP LIEFDE [Sudah Terbit]
Narrativa generale"Kau memang pemantik, namun hanya hatiku yang terbakar." Ario. Belanda menjadi saksi kisah Dewi dan Ario yang berjuang meraih cita dan cinta. Mampukah keduanya meraih?