Berkeliling mencari buku di perpustakaan membuatku semakin bingung, sudah tanya pada penjaga perpus tapi tetap saja. Buku yang dia tunjukkan menurutku belum tepat, tapi aku tetap memungut buku tersebut untuk menghargai bantuannya. Sekilas aku melirik jam yang tergantung di dinding, di atas pintu akses masuk yang terbuat dari kaca tembus pandang. Janji temuku dengan profesor masih setengah jam lagi, tapi ada baiknya aku bersiap. Akan lebih baik jika menunggunya, daripada terlambat.
Selesai mengurus buku pinjaman, aku keluar dari perpustakaan langsung naik ke lantai dua student office. Mencari meja yang sekiranya kosong dan nyaman untuk tempat diskusi. Bangku pojok selalu jadi area favorit, aku berjalan ke sisi kanan mengambil kursi paling ujung. Sembari menyalakan laptop, aku mengetik pesan untuk profesor yang juga dosen salah satu mata kuliahku. Cukup pesan singkat memberitahukan di mana keberadaanku.
"Boleh, aku duduk?" Tiba-tiba terdengar pertanyaan dari seseorang.
Tak perlu mendongak untuk siapa pemilik suara itu. Aku berdehem menanggapi, terserah dia mau menganggapnya bagaimana. Sementara dalam hati kecil, berharap dia pergi saja. Tak sedikit pun aku ingin berbincang dengannya.
Namun, sayang sekali dia tak sadar diri. Tangan kirinya yang mengenakan jam tangan bermerk tertangkap sekilas olehku, saat dia menggeser kursi tunggal di arah pukul tiga.
"Kau mau apa?" tantangku saat Gilang baru saja duduk.
"Menyelesaikan obrolan kita di depan impact lab."
Aku membuang muka ke samping. Menyebalkan. Susah payah aku menelan air ludah, rasanya masih terlalu sulit bertatap muka dengannya tanpa ada debar itu. Rasa yang dulu pernah bersemi dan seketika mati saat dia memutuskan pergi. Pun aku yang yang tersentak dan terpaksa mengakhiri. Tak mampu kubendung, bulir yang mendesak di sudut mata.
Burung-burung kecil yang berkejaran di atap bangunan seberang, tak mampu mengalihkan kebimbanganku. Bahkan, langit biru muda dengan awan putih berarak di sana, tampak monokrom. Aku tak mampu bohong. Saat melihat matanya seperti ada tawa yang memaksaku untuk mengakui, bahwa aku masih sedikit ... menginginkannya.
"Dewi, aku tahu kau masih ...."
"Leave me, alone." Aku memohon tanpa memandangnya.
"Dew, listen to me, please."
"What for? Tell me, what for. I have somebody else right now. You know that, huh?"
"Forgive me, and we could try again."
"No. You and me ... both of us are running out of time."
"Goedenamiddag. Dewi?" Seseorang kembali mengejutkanku. Seketika aku menoleh, sembari mengusap pipi.
"Goedenamiddag. Yeah, I am. Please, sit." Aku mempersilakan profesor duduk, kemudian beralih menatap Gilang. "Aku mohon, pergi sekarang."
Gilang menepuk lenganku dua kali sebelum beranjak. Aku mendesah lemah selepas kepergiannya. Berat.
"Apa kita bisa berdiskusi sekarang?" Profesor menanyai, seolah dia bisa membaca isi kepalaku. "Kau bisa atur ulang jadwal jika tidak sedang baik-baik saja."
Nada bicara Pak Dosen ramah, dia berucap dengan bahasa Belanda yang terdengar jelas olehku. Seolah sengaja melambatkan intonasi dan membuat penekanan agar aku mengerti.
"Alles goed, dank je."
Aku tersenyum, meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja. Segera aku menggeser laptop agar tidak menghalangi pandangan. menurutku, sedikit tidak sopan ketika ada benda yang cukup tinggi berada di tengah dua orang yang sedang berbincang. Pak Dosen pun membalas senyum, lalu menanyakan kembali apa keluhanku.
Kuungkap, kebingungan yang teramat sangat kenapa tugasku kemarin ditolak. Tidak lain di mata kuliah yang beliau ampu. Aku tidak tahu, kenapa bisa terjerat plagiasi padahal aku tidak mengutip hasil karya siapa pun.
"Kau mengutip tulisanmu di tugas sebelumnya, kau tahu itu bukan?"
Aku mengangguk, membenarkan.
"Kau seharusnya tetap menyertakan asal berkas yang kau kutip. Meskipun, itu karya atau tugasmu sendiri. Berhati-hatilah, beberapa dosen mengecek satu per satu tiap kalimat. Itu tidak sulit, karena sekarang pekerjaan mengoreksi tugas dibantu oleh software aplikasi. Kau sudah tahu tentang hal ini bukan?"
"Yeah, I know, Sir."
"Just call me, Dean. Dan, bagaimana hasil ujian penyetaraan berbahasamu di awal musim?"
"Niet zo goed." Aku mencoba jujur.
"Kau bisa ikut kelompok bahasa, rata-rata diikuti oleh mahasiswa internasional karena kemampuan berbahasa Inggris yang berbeda."
"Terima kasih sarannya ... Dean."
Ragu-ragu aku menyebut hanya nama, seseorang yang notabene adalah dosen.
"You are welcome, anything else?"
Belum sampai aku menjawab, Pak Dosen melirik jam tangannya. Dia tampak seperti sedang ada janji lain, atau ingin segera beralih ke pertemuan selanjutnya.
"Tidak ada, terima kasih sudah datang," jawabku.
Pak Dosen mengakhiri pertemuan kami dengan pemberitahuan agar aku menghubunginya lagi jika menemui kesulitan.
Tak kusangka Pak Dosen berbasa-basi dengan bertanya ke mana aku akan pergi setelah ini. Sudah menjelang sore, aku harus kembali ke kelas karena masih ada satu jam terakhir. Pak Dosen menungguiku berkemas, lantas kami menuruni tangga bersisian sembari mengobrol ringan tentang kesanku menuntut ilmu di negara Belanda.
Tak banyak kata, yang pasti aku sudah mulai kerasan. Warganya ramah, meski memang agak blak-blakan. Akan tetapi, bagiku itu tak masalah. Lagi pula, aku orangnya cenderung jujur dan terkenal frontal di kalangan teman-teman Indonesia.
"Apa kau juga bekerja?" tanya Pak Dosen ketika kami sampai di depan gedung kampusku.
Aku mengangguk. Sudah dua minggu aku bekerja di sebuah restoran cepat saji yang pemiliknya berkewarganegaraan Arab.
"Perbaiki jam belajar agar tidak tertinggal. Atur waktu supaya tetap sehat dan tidak kehabisan energi ketika duduk di bangku kelas."
"Terima kasih banyak, atas sarannya."
Aku sedikit membungkuk untuk menghormatinya.
"It's okay, tot ziens."
Aku tersenyum, memandangi punggung Pak Dean yang semakin jauh. Terngiang, pesan terakhirnya. Benakku berusaha mencerna kalimat, kadang saran dari seseorang yang peduli membantu kita memperbaiki sesuatu. Benarkah?
BERSAMBUNG ....
Yuhuu kan kan saya lagi rajin update, huehuee
Jangan lupa klik bintangnya, yak, makasih ....
KAMU SEDANG MEMBACA
HOOP LIEFDE [Sudah Terbit]
Ficción General"Kau memang pemantik, namun hanya hatiku yang terbakar." Ario. Belanda menjadi saksi kisah Dewi dan Ario yang berjuang meraih cita dan cinta. Mampukah keduanya meraih?