Bagian Tujuh

23 2 0
                                    

"Halo, kau pasti Rio, pacar baru Dewi Anindita." Gilang mengulurkan tangan pada Rio, napasku terhenti seketika. "Perkenalkan, aku seseorang yang pernah mengenal Dewi di masa lalu."

Aku membuang muka saat Rio balik menatapku, dia belum menyambut tangan Gilang yang menunggu. Rasanya aku tidak pantas mendapat sorot mata hangat Rio. Bukan inginku menyakitinya atau berkhianat tentang janji yang kami buat, tapi ketidakjujuranku dalam beberapa hal sangat memalukan. Kemarin aku berpikir tidak perlu mengungkap semuanya.

"Kebetulan yang menyenangkan, jika kalian saling kenal," ucapnya yang berulang tahun.

Si tuan rumah menceritakan singkat di mana dia kenal Gilang, katanya mereka bertemu saat mengikuti tour bersama berburu aurora borealis di Norwegia setahun yang lalu. Itu masuk akal. Berkunjung ke negara yang terkenal mahal seperti Norway tentu bukan perkara sulit bagi Gilang dan keluarganya.

Belum selesai berbagi kisah, beberapa teman menghampiri kami untuk mengucapkan selamat ke yang berulang tahun.

"Dew, kau terlihat berbeda—"

"Rio, tiba-tiba aku haus," ajakku, mengabaikan ucapan Gilang yang belum selesai.

Kugerakkan kepala menunjuk meja yng menyediakan minuman. Sebenarnya, aku lebih ingin menghirup udara tenang dibanding melepas dahaga. Lagi pula tidak ada kopi atau teh untuk menghangatkan badan. Yang tersedia sebagai penghangat tubuh hanyalah sederet bir di bar mini sebelah pojok aula, letaknya dekat dengan panggung kecil.

"Dewi, kau sungguh mengenal Gilang?"

Aku menenggak tandas segelas jus, entah buah apa yang penting non alkohol. "Kau yakin ingin tahu?"

Rio mengangguk cepat. Tatapannya melumpuhkan kemampuanku menghindar. Aku ingin memberitahunya, tapi hatiku berbisik untuk tidak menceritakan apa pun. Rio pasti kuberitahu, tidak sekarang. Rasanya belum tepat.

"Aku menunggu, Dew." Rio mendesak.

"He is my ex," jawabku singkat, seketika aku menunduk. Malu.

"Jadi, dia yang kau tinggalkan, karena dia sudah bertunangan dengan gadis lain--."

"Hentikan, apa perlu kau mempertegas?"

Aku tersinggung, meski Rio belum menyebutku sebagai perebut pacar orang. Semua orang menghakimiku, menganggap aku ini gadis tidak tahu diri. Sementara kenyataannya, aku tidak pernah tahu kalau Gilang sudah resmi menyandang status calon suami gadis lain. Kalau aku tahu, tentu aku tidak akan membiarkan hati ini terus mencintainya.

"Dita, menikahlah denganku?"

Gema suara Gilang masih kudengar jelas. Ketika kami berdua makan malam di salah satu restoran ternama kota Bandung. Air mataku lolos ketika melihatnya membuka sebuah kotak cincin, lalu telapak kirinya menengadah menunggu uluran tanganku. Kami baru mengenal selama tiga bulan, tapi Gilang dengan berani memintaku menjadi pendamping hidupnya.

Dewi Anindita, kamulah perempuan paling bahagia malam ini, bisikku dalam hati. Masih dengan air mata jatuh berderai, perlahan kuberikan tangan kananku. Disambut perlahan dan dia memasangkan cincin putih bermata. Setelahnya aku hanya diam dalam kebahagiaan yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku mencintainya.

Gilang lantas mengantarkanku pulang, sebelum pergi dia berjanji akan mengajak serta keluarganya datang. Agar kedua orang tua kami segera bertemu dan menentukan tanggal pernikahan. Waktu berlalu sangat cepat, sampai hari pertemuan besar itu tiba. Di hari pertemuan keluarga, aku terus meneteskan air mata sembari menunggu kedatangan Gilang dan keluarganya. Saat ada dua mobil berhenti di depan rumah ....

"Hei, I'm sorry. Jangan menangis."

Rio berusaha menyentuh lenganku, tapi aku menepisnya. Tercebur ke dalam masa lalu itu menyakitkan. Patah hati, perihnya seolah tak bertepi.

HOOP LIEFDE [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang