Reflek aku mendorong tubuh Gilang ketika melihat Rio menyusul. Rio memandangku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Sembari masih berusaha mengeringkan sisa-sisa air mata, aku balik badan mengayun langkah meninggalkan keduanya. Gilang memanggil, aku mendengar tapi tak ingin menoleh. Sedikit berlari, aku menuruni anak tangga.
Tujuanku adalah kelas berikutnya, aku masuk dan di dalam sudah ramai sekali. Setiap orang duduk berdekatan dengan kelompok belajar mereka. Vin melambaikan tangan padaku, dia dan Roosi mengambil kursi paling ujung belakang. Hanya kami bertiga, karena Samuel sepertinya memang tidak masuk.
"Kau menangis?" cecar Roosi saat aku duduk.
Aku menggeleng seraya tersenyum.
"Coba sentuh dahinya, mungkin Dewi sakit," saran Vin.
Seketika Roosi langsung menyentuh dahiku dengan punggung tangannya. Perlahan kuturunkan tangan gadis Spanyol itu, aku tidak apa-apa. Kami memang baru beberapa bulan kenal, tapi mereka sungguh baik dan ramah padaku. Perhatian, meski terkadang agak memaksakan kehendak.
"Dew, nanti sore aku mau main ke tempat Vin. Kau mau ikut?" tanya Roosi setelah yakin aku tak apa.
"Aku?" tanyaku menunjuk wajah sendiri. "Tidak, aku tidak mau mengganggu kalian."
"Hei, ini undangan berkunjung. Aku kecewa jika kau menolak."
Vin memaksaku juga. Tak mampu lagi aku membantah kemauan mereka. Sebenarnya, aku ingin mengajak Anna. Akan tetapi, itu sangat tidak sopan. Dari cerita teman-teman juga dari apa yang Rio pernah katakan, orang Belanda sedikit tertutup perihal undang mengundang. Memang benar, terbukti aku jarang diajak pergi atau menerima undangan oleh teman sekelas. Mungkin karena aku berbeda keyakinan, mereka menghormati itu. Pun, tidak ada teman yang cukup akrab denganku selain Vin, Roosi dan Samuel.
Tak lama kemudian, kelas dimulai. Professor Dean masuk kelas membawa setumpuk kertas. Tidak biasanya, tiba-tiba aku teringat masa-masa kuliah di Indonesia di mana soft file masih kalah eksis dari hard file. Sementara di sini, segalanya sudah serba digital dan modern. Mulai dari aplikasi khusus milik kampus, akun mahasiswa dan segala urusan tentang kampus bisa diakses online. Bahkan, jika ingin meminta kelas via daring pun bisa dilakukan apabila mahasiswa berhalangan hadir dan ingin mendengar materi langsung dari dosen.
Memang tidak mengherankan karena aku pun belajar tentang pembuatan aplikasi, konsep, perencanaan, tim juga pemasaran. Itulah fokus utama jurusan yang aku ambil, Master Media Innovation. Di trimester ketiga nanti, setiap mahasiswa akan mulai diarahkan pada detail minat dan spesifikasi. Aku personal lebih menyukai konsep dan pengembangan sebuah aplikasi atau web.
Profesor Dean tiba-tiba memanggilku. Belum sampai aku berdiri dia sudah berjalan mendekat lalu meletakkan kertas di mejaku. Apa ... aku menengadah untuk bertanya.
"Hasil pemeretaan bahasamu kurang. Baca ini, semoga bisa menyusul yang lain."
Aku mengucapkan terima kasih, dan hanya dijawab dengan senyuman. Manis. Sekilas aku melirik seluruh isi kelas, teman-teman memandangku dengan tatapan yang entah. Aku tak berani menafsirkan atau berspekulasi tentang isi kepala mereka. Memilih tak acuh, aku membuka lembar yang Prof. Dean berikan. Semacam modul, kiat cepat menguasi bahasa Inggris dan Belanda.
"He likes you," bisik Roosi dari arah belakang.
"I think so." Vin menyahut.
"Aku tidak dengar."
Keduanya malah cekikikan. Namun, aku tak ingin terpancing. Mana mungkin seorang profesor menyukaiku. Membimbing mahasiswa memang sudah tugasnya. Bisa jadi, dia memberikan modul ini ke banyak orang. Itu sudah pasti, tak terhitung berapa ratus peserta didik setiap tahun. Bisa-bisanya Vin dan Roosi bergosip.
Mengalihkan pikiran dari distraksi keduanya, aku memandang ke depan. Profesor Dean, tengah menjelaskan singkat, materi yaang sudah kami pelajari. Dipelajari atau tidak, yang pasti setiap mahasiswa sudah harus dan wajib mengunduh berkas yang akan diajarkan hari ini. Sembari mendengar penjelasan, aku membuka kembali file yang tersimpan di folder khusus.
Tak lama kemudian, kami diminta berkelompok lalu menyelesaikan program yang setengah jadi. Pun, diminta memberikan solusi pemasaran tak lupa menyusun proposal permohonan kerja sama dengan salah satu perusahaan yang bergerak di media digital. Boleh perusahaan fiktif, sepertinya.
"Perusahaan sungguhan?" tanya Vin saat aku memutar badan seraya memindahkan laptopku ke mejanya.
Kursi yang kami duduki berbentuk bulat tanpa sandaran. Jadi bisa menghadap sesuka hati. "Fiktif tak apa," jawabku pelan.
"Are you sure?" Roosi kembali bertanya.
"If you wanna make sure, ask to Professor."
"Why are you so rude?"
"No, I'm not." Aku menyanggah.
"Yeah, you are."
"Okay, sorry. Now, can we talk about this?" Aku menunjuk layar laptop yang menyala.
Vin dan Roosi mengiyakan. Kami berdiskusi seperti biasa, seolah tak terjadi sedikit perselisihan sebelumnya.
Di tengah obrolan tiba-tiba muncul satu pesan masuk, dari Gilang. Aku sedikit menggeser laptop, hendak membuka apa isi pesan dari laki-laki itu. Dia tidak juga berhenti mengusik detik dan menit yang kumiliki.
Di pesan pertama, terpampang kaos baru warna jingga bertuliskan Breda dan satu lagi Breda University of Applied Sciences. Dia tampak senang dalam foto itu, memakai hoodie warna abu-abu warna favoritnya berlogo kampus. Gilang memberi tahu jika per hari ini dia sudah resmi menjadi mahasiswa di kampus yang sama denganku. Apa baru saja dia menemuiku untuk menunjukan hal ini? Kenapa aku bisa lupa kalau per tanggal ini ada musim kedua penerimaan mahasiswa. Mataku beralih membaca pesan lainnya.
"Kau akan ke mana akhir minggu nanti, mau pergi ke carnival?"
Carnival apa yang Gilang maksud. Adakah perayaan dalam waktu dekat? Aku tidak mendengar berita apa pun.
"Apa akan ada carnival minggu depan?" Aku beralih menanyai Roosi dan Vin. Keduanya mengangguk bersamaan. Sesaat kemudian saling pandang, lalu menatapku lagi.
"Kalian tidak mengatakan sesuatu padaku," tanyaku lagi.
"Kami pikir kau sudah tahu." Roosi menyanggah.
"Sudahlah." Aku mengibaskan tangan, sedikit kecewa tapi tak ingin marah.
Perayaan apa memangnya, segera aku mengetik tanggal akhir pekan nanti untuk mencari tahu. Aneh. Jika benar ada carnival, kenapa Rio malah mengajakku pergi. Bukankah dia harusnya ingin turut serta atau setidaknya melihat-lihat.
"Kau tidak menonton televisi atau semacamnya? Banyak persiapan yang dilakukan oleh pemerintah kota." Vin buka suara.
"Tidak. Kau tahu aku tidak punya banyak waktu," jawabku jujur.
Pulang dari kampus, aku memilih beristirahat. Akhir pekan kuhabiskan untuk bekerja, selebihnya tidur atau bermain-main. Melihat sekeliling dan bertemu banyaa orang membuat suasana hati nyaman sebelum berkutat materi-materi.
"Tapi, aku tidak yakin kau akan nyaman berada di tengah carnival." Vin memberiku pernyataan aneh. Aku berkerut kening dibuatnya.
"Kusarankan kau tidak datang, Dew." Roosi menambahi. "Aku yakin kau tidak akan merasa cocok."
Apa maksud mereka sebenarnya? Kenapa?
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
HOOP LIEFDE [Sudah Terbit]
General Fiction"Kau memang pemantik, namun hanya hatiku yang terbakar." Ario. Belanda menjadi saksi kisah Dewi dan Ario yang berjuang meraih cita dan cinta. Mampukah keduanya meraih?