Aku tidak bisa menahan senyum ketika melihat Rio melambaikan tangan. Dia menungguku di depan pagar student house khusus perempuan. Aku menunduk beberapa kali, menyembunyikan wajahku yang mungkin saja memerah karena bahagia dan menahan dingin. Seketika tawaku pecah ketika sampai di samping Rio.
"Kenapa coat kita mirip?" tanyaku heran.
Rio mengamati pakaiannya lagi, diusapnya bagian depan coat yang dia kenakan lalu menatapku. "Apa aku tidak pantas memakai ini?"
"Bukan begitu, tapi mirip saja denganku. Biasanya kau lebih suka pakai parka," ucapku saat berjalan memutar lalu berdiri di belakangnya.
"Kan mau ke pesta, bukan main atau keluyuran suka-suka. Aku harus tampil lebih layak," sanggahnya.
"Alasan yang masuk akal, ayo berangkat." Aku sudah naik ke boncengan sepeda.
Rio membenahi selempang tasnya sebelum mengambil posisi menegakkan sepeda. Dia naik dan mulai mengayuh. Aku berusaha menyeimbangkan badan agar tidak oleng. Untungnya beberapa hari terakhir tidak banyak hujan turun. Jalanan kering, dan kami bisa bersepeda dengan tenang.
Di Belanda, transportasi yang umum digunakan adalah sepeda. Hampir semua orang punya sepeda. Bahkan, ada yang punya lebih dari satu. Sepeda sudah seperti kendaraan wajib dimiliki semua kalangan, dosen saja ada yang naik sepeda ke kampus. Jasa transportasi seperti bus, atau taksi seringnya hanya digunakan untuk perjalanan jauh. Di Belanda ada jalur khusus sepeda yang tidak boleh diterobos oleh kendaraan lain termasuk sepeda motor. Pesepeda di Belanda sudah seperti penguasa jalanan. Jalur sepeda selalu ramai dibanding lajur kendaraan bermesin yang kerap lengang.
Aku melirik jam tangan sekilas. Sedang tangan kananku berpegangan pada besi boncengan yang tidak aku duduki. Baru pukul tujuh kurang lima belas menit, undangan acara ulang tahunnya pukul setengah delapan. Sebenarnya aku tidak terlalu kenal siapa gerangan yang berulang tahun, selain info bahwa dia teman sekelas Rio. Katanya boleh mengajak satu orang atau pasangan untuk menemani, sebab itu Rio menawariku.
Jujur saja, aku bersemangat sekali datang ke pesta ulang tahun malam ini, sebab belum pernah datang ke acara apa pun selama di Belanda. Dengar-dengar, pesta bagai warga Belanda sudah seperti budaya dan kewajiban. Memang sering ada acara dari teman sekelas, tapi karena aku yang cenderung tidak akrab jadi tidak masuk daftar undangan mereka. Itu bisa kumaklumi, meski kadang aku iri jika Samuel bercerita tentang pesta atau selepas menghadiri undangan makan malam.
"Apa tempatnya jauh?" tanyaku.
"Tidak, hanya sekitar lima belas menit. Ada masalah?" Rio bertanya balik.
"Tidak, sepertinya cuaca semakin mendung. Tidak ada bintang."
"Kau masih ingat kapan terakhir kali melihat bintang di langit Breda?"
Aku tertawa mendengar pertanyaan itu. Benar juga. Jangankan bintang, matahari saja enggan muncul. Akan tetapi, firasatku bilang sebentar lagi akan turun hujan. Kabar buruknya, aku tidak membawa mantel.
"Oh tidak, ucapanmu mengundang mereka datang," keluh Rio.
Tawaku pecah saat merasakan titik-titik kecil berjatuhan di wajah. Hujan. Rio mengayuh sepedanya lebih cepat. Aku kasihan padanya. Tahu begini aku tadi bawa sepeda sendiri. Beban tubuhku sudah pasti memperlambat laju. Samar-samar Rio berteriak, bertanya mau berhenti atau lanjut terus. Aku memintanya jalan saja, rinainya tidak terlalu deras meski tetap akan membuat coat yang kami kenakan sedikit basah.
"Sudah sampai." Rio berhenti di depan sebuah pintu gerbang student house.
Aku melompat turun dari boncengan, lalu berlari untuk berteduh di bawah naungan gerbang yang pagarnya terbuka. Angin dingin berembus, membuat ujung pasminaku berkibar-kibar, sampai menyibakkan ujung bawah coat panjang yang kupakai. Dari sudut mata, aku melihat Rio yang tampak berantakan, kondisi yang tak jauh berbeda denganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOOP LIEFDE [Sudah Terbit]
General Fiction"Kau memang pemantik, namun hanya hatiku yang terbakar." Ario. Belanda menjadi saksi kisah Dewi dan Ario yang berjuang meraih cita dan cinta. Mampukah keduanya meraih?