Sedari tadi, Rio hanya mendengarkan musik dan membaca. Pandangannya tak lepas dari layar komputer, tampak sangat abai pada obrolanku juga teman-teman. Aku tahu dia tidak suka, entah tentang rencanaku ikut seleksi ke Berlin atau bergabung duduk di sini.
Inisiatif kutarik satu earphone-nya sampai terlepas. Berhasil, dia menoleh padaku yang duduk di arah pukul sembilan.
"Kau tidak memakan sarapanmu," tunjukku. Kami semua sudah selesai makan, sedang roti isi milik Rio belum tersentuh sama sekali.
Dia tak menjawab. Justru mematikan laptopnya lalu memandangi aku, Anna, Samuel dan dua lagi teman sekelasku yang bergabung dengan kami.
"Kalian tidak masuk kelas?" tanya Rio seraya memandangi teman-temanku bergantian.
Aku terkejut, sungguh menyebalkan sekali sikapnya. Apa maksud Rio mengusir temanku seperti itu, tidak sopan. Seketika aku memandang teman-teman dan bisa dipastikan mereka tampak tersinggung. Ya ampun, ini memalukan. Bahkan, mereka langsung berkemas tanpa kata.
"Aku akan menyusul segera," kataku menghibur.
"Never mind," ucap Samuel sambil menenteng tasnya. "Dia pacarmu, bukan? Bisa dimaklumi."
"I'm sorry, Sam. See you soon." Aku tidak enak hati sebab ulah Rio.
Samuel tersenyum sampai tampak gigi sebelum bangkit, mengajak dua temanku yang lain. Tinggallah sekarang hanya ada kami bertiga lagi, aku, Rio dan Anna. Si pirang berkemas, aku tahu dua puluh menit lagi kelas dimulai dan kami semua harus pergi dari sini.
Aku malas menghibur Rio atau menjelaskan apa pun. Dia harus minta maaf lebih dulu soal tadi, seenaknya saja mengusir temanku. Alih-alih dia bereaksi, yang bernama Ario Manggala malah sibuk dengan makan paginya. Oh God, dia sungguh menyebalkan.
"Dew, tunggu," cegah Rio ketika aku sudah mau melangkah.
Aku menatapnya enggan. "Apa?"
"Apa aku masih harus bertanya?" ucapnya di sela mengunyah.
"Ayolah, kalian bukan anak kecil," seloroh Anna melerai kami.
"Dia yang keterlaluan, Ann. Bukan aku."
Kutunjuk Rio yang pasang wajah tak berdosa, tingkahnya kekanakkan sekali. Sedikit pun tak tampak menyesal atau ingin meminta maaf padaku. Padahal sudah jelas dia salah. Sefrontal-frontalnnya orang Belanda, belum pernah aku menemukan ada seseorang yang mengusir orang lain dari meja makan. Bagiku Etika Rio buruk sekali. Tidakkah dia menyadarinya.
"Kau sudah bilang pada orang tuamu?" tanya Rio datar.
Aku menyipit mata. Apa yang dia tanyakan, izin orang tuaku? Izin untuk apa?
"Kau akan pergi ke luar negeri tanpa pengawasan," kata Rio lagi sebelum aku mampu mencerna maksudnya.
"Oh itu, bukannya sekarang juga di luar negeri, ya?"
"Dewi benar," imbuh Anna.
Si pirang bertubuh tinggi bak model merangkul pundakku.
"Apa kau harus menjawab dengan kemarahan?" Rio menyanggahku.
Aku marah bukan karena pertanyaannya, tapi sikapnya. Sejak bertemu dengan Bapak dan Ibu, aku merasa Rio agak mengekangku. Dia selalu memberiku saran ini dan itu, jangan begini dan begitu. Padahal sudah berulang kali kubilang, aku tidak suka dibatasi apalagi sering ditanya-tanya.
"Aku akan tetap mendaftar," tegasku sebelum balik badan dan meninggalkan Rio.
Anna terdengar memanggilku. Namun, aku tak menungguinya, terus aja langkahku melewati pintu geser otomatis lantas menuju kelas.
"Dew!" panggil seseorang saat aku melewati taman dekat parkiran sepeda di dekat kampus utama.
"Hai, apa yang kau lakukan di ... sini?" tanyaku.
Samuel berdiri, dengan senyum khasnya menghampiriku lalu mengangkat tangan kiri, pertanda mempersilakan-mengajakku mengambil langkah. Aku mengangguk dan perlahan mulai berjalan diikuti olehnya.
"Kau belum menjawab pertanyaanku," kataku lagi saat kami hendak masuk gedung.
Sedari tadi kami hanya jalan bersama dan tidak membicarakan apa-apa selama hampir sepuluh menitan.
"Sengaja menunggu," ujarnya.
"Menungguku?"
Si mata biru, julukanku untuk Samuel, dia mengedikkan bahu. Aku menatapnya sekilas dengan mulut terbuka, ingin berucap tapi urung. Kubuang pandangan ke depan lagi. Masih dengan benak mencerna apa yang dia lakukan. Menungguku, untuk apa?
"Kau sudah terbiasa dengan ontbijtkoek (kue sarapan) tampaknya?"
Aku tertawa kecil mendengar kalimat itu, sulit dipercaya kalau dia menungguku hanya untuk membicarakan makan pagi kami. "Ya, aku harus menyesuaikan diri bukan?"
"Kau cepat beradaptasi. Dan tampaknya sangat menikmati peperkoek (kue merica) tadi."
"Kue merica lebih familiar dengan lidahku daripada kruidkoek (kue bumbu)," lanjutku.
Aku tertawa kecil, teringat dulu waktu pertama kali harus makan pagi dengan kue atau roti. Perutku yang belum terbiasa, rasanya masih belum kenyang sebelum mendapat asupan karbohidrat dari nasi. Tak terbayang bagaimana dengan penduduk asli yang bisa makan malam dengan stamppot atau bahan olahan kentang lainnya tanpa nasi sama sekali. Kalau aku sudah pasti kelaparan sepanjang malam.
"Hati-hati," saran Samuel ketika kami mau naik eskalator dari ground floor.
Di Belanda dan seluruh Eropa, lantai dasar disebut ground floor bukan lantai satu seperti yang biasa kita sebut di Indonesia. Aku mendahulukan kaki kanan, sedangkan Samuel berdiri satu tangga di belakangku sebab di sebelah tiba-tiba ada mahasiswi yang menyerobot. Wajar saja, sebab tiba waktu masuk kelas, semua akses jalan hampir dipastikan ramai dan penuh.
Aku menoleh ke belakang, mencari Anna. Kenapa dia tidak tampak menyusul, padahal kelas kami ada di gedung yang sama.
"Dew, kau akan tetap mendaftar?" tanya Samuel.
Aku mengangguk yakin. Kami menyusuri koridor untuk naik eskalator selanjutnya ke lantai dua, kelasku berada.
"Apa dia melarangmu? Maksudku, pacarmu, sepertinya dia tidak senang."
Benar bukan, Samuel sudah pasti menyadari kalau sikap Rio itu menunjukkan ketidaksukaan. Rio, memang belum terang-terangan melarangku pergi. Akan tetapi, aku akan tetap pergi sekali pun dia marah. Lagi pula ini bagian dari magang dan ujian lapangan. Tentu akan jadi kebanggaan tersendiri seandainya kelompok kami mewakili kampus untuk berkunjung ke MTV Berlin.
Tiba-tiba ragu itu datang, benarkah dia adalah pilihan terbaik. Belakangan ini aku seperti tidak mengenal Rio.
"Dew, kelas kita di sana."
"Eh, iya." Aku meringis. Bodoh sekali. Bisa-bisanya aku melamun dan hampir salah belok.
"Jadi benar dia melarangmu?" tanya Samuel lagi.
"Tidak tentu saja," jawabku yakin.
Aku duduk di baris kedua, tepat di sebelah Samuel. Dua teman satu kelompokku sudah membuka laptopnya, mereka menempati baris pertama di depan. Aku menyapa, lebih tepat disebut mengganggu keduanya yang selalu bermesraan di dalam kelas. Kelompok belajarku ada empat orang, dua perempuan dan dua laki-laki. Jadi, formasinya aku, Samuel dan sepasang sejoli yang tengah dimabuk asmara namanya Vin dan Roosi.
"Kau ikut, 'kan, Dew?" tanya Vin.
"Of course, I will." Aku yakinkan mereka bertiga.
Samuel membuka mulut seperti akan mengatakan sesuatu, tapi tiba-tiba Pak Dosen masuk kelas.
"Dewi."
"Yes, Sir," jawabku cepat dan tergesa.
"Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu. Dia menunggu di luar."
Bersambung ....
Haii mulai hari ini sampai pertengahan Juli insyaAllah, cerita ini akan update rutin ... semoga kesibukan dunia nyata tak begitu menyita waktu saya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOOP LIEFDE [Sudah Terbit]
Ficción General"Kau memang pemantik, namun hanya hatiku yang terbakar." Ario. Belanda menjadi saksi kisah Dewi dan Ario yang berjuang meraih cita dan cinta. Mampukah keduanya meraih?