Bagian Tiga Belas
Aku melihat Rio duduk sendiri di coffeecorner Media, dia sedang berbincang dengan salah satu mahasiswi dari jurusanku. Sepertinya berdikusi, karena dia dan seorang perempuan berambut merah itu tampak terlibat obrolan serius. Di jam istirahat, tak banyak ruang tersisa, aku memilih duduk di salah satu sofa tanpa sandaran berbentuk kotak. Kuulas senyum pada teman-teman lain yang lebih dulu bercengkerama di area yang sama.
Rio, berada tepat di belakangku. Kami saling memunggungi. Akan tetapi, mungkin dia tak menyadari keberadaanku. Aku ingin menyapanya tapi takut mengganggu. Sebab kabarnya, tak lama lagi dia akan ikut dalam kunjungan proses persiapan Toffler Festival. Toffler Festival pertunjukan musik techno yang sudah menjadi agenda tahunan setiap musim panas. Festival itu katanya tak hanya diikuti oleh DJ atau komposer Belanda saja tapi juga dimeriahkan oleh seniman dari negara Eropa lain.
Memikirkan Rio. Aku khawatir dia marah karena lusa kemarin malam aku mengusirnya di depan Gilang. Sejak saat itu, Rio diam saja. Pun ketika mengembalikan sepedaku hanya menaruhnya di parkiran dan menitipkan kuncinya pada penjaga apartemen. Inginku mengirim pesan, tapi rasanya bukan ide yang bagus.
"Haii, Dew. Sedang apa di sini?" Sapaan seseorang membuatku mendongak.
Vin dan Roosi, sejoli itu memandangku. Kuangkat cangkir berisi kopi yang kupegang dengan kedua tangan. Sengaja aku menggenggamnya untuk sedikit menghangatkan badan.
"Sendirian?" tanya Roosi. Gadis cantik asal Spanyol itu lantas duduk di sofa yang bentuknya sama denganku, hanya saja tingginya sedikit lebih rendah.
Tak ada kursi terdekat yang kosong, Vin tak ragu selonjoran di lantai. Punggung kekasih Roosi itu bersandar pada kursiku.
"Kau lihat, Samuel?" tanya Vin padaku.
"Tidak, belum, mungkin dia izin. Beberapa waktu lalu Sam sempat bilang akan pergi ke satu tempat. Entahlah, aku tidak bertanya kembali karena tidak ingin ikut campur."
Roosi mengangguk perlahan setelah mendengar perjelasanku.
"Dew, di tempatmu bekerja apa makanannya enak?" tanya Vin tiba-tiba.
Aku tertawa kecil sebelum menjawab yakin. "Tentu, cobalah sesekali."
Vin beralih pada Roosi, laki-laki itu berusaha membujuk sang kekasih agar mau mencoba masakan Asia. Namun, aku memaklumi jika Roosi dan sebagian penduduk Eropa kurang familiar dengan makanan yang mengandung banyak rempah.
"Apa kau tidak lelah, Dew. Bekerja dan harus belajar, kau tampak kurus." Roosi menilaiku setelah mengiyakan rayuan Vin. Mereka berjanji akan datang Jumat malam depan, waktu yang sering digunakan sebagian orang untuk makan-makan dan menghabiskan waktu setelah rutinitas lima hari kerja atau kuliah.
"Sedikit, tapi bekerja itu menyenangkan."
Sungguh menyenangkan, apalagi jika mengingat per jamnya aku bisa mendapat 10 euro. Juga pemilik resto tempatku bekerja baik sekali, sebelum bekerja aku diharuskan makan dulu. Namun, aku lebih senang makan ketika hendak pulang. Jadi, selain mendapat upah setelah bekerja aku bisa mengirit pengeluaran untuk makan malam ketika sedang bekerja.
"Dew, kau tidak berpikir tentang Sam?" Roosi bertanya.
"Ya, kami berdua membicarakan kalian." Vin menambahkan.
"Apa?"
Aku memandang keduanya bergantian. Tak paham kenapa membicarakan aku dan Samuel. Rasanya aku tak pernah berselisih atau punya masalah dengan si mata biru itu.
"Dia menyukaimu, ayolah, jangan pura-pura." Roosi menaik-naikkan kedua alis, meledekku.
Aku menahan tawa dibuatnya. "No, kami hanya berteman. Sama seperti aku dan Vin. Iya, 'kan, Vin?"
Balik menggoda Roosi, aku menyenggol bahu Vin yang posisinya di dekat lenganku. Laki-laki berambut ikal itu tertawa, berhasil membuat Roosi berdecak. Namun, aku yakin dia tidak marah. Kuteguk sisa moccachino terakhir, sebelum mengajak kedua temanku masuk ke kelas. Mengawali minggu, kami harus menciptakan energy positif dengan berangkat lebih pagi, makan sehat, menyelesaikan tugas tepat waktu. Juga aku ingin bercerita sekaligus mengeluh tentang tugasku yang terdeteksi plagiat.
Kami beranjak. Kuminta mereka menungguku sejenak untuk mengembalikan cangkir. Entah, aku tetap tak nyaman meninggalkan bekas minum tergeletak di lantai atau meja.
"Ayo," ajakku kemudian.
"Dew." Vin tiba-tiba berhenti.
Aku membeliak, menatapnya isyarat bertanya ada apa. Vin menggerakan dagunya, menunjuk belakangku. Seketika aku balik badan.
"Apa kita bisa bicara sebentar?" Rio bertanya. Aku kira tadi, dia sudah pergi.
Belum sempat aku berpamitan. Vin dan Roosi lebih dulu mempersilakan, memberiku ruang. Keduanya bergandengan tangan, lalu pergi menjauh.
"Maaf soal yang kemarin, aku hanya tak ingin kau bermasalah dengan Gilang. Dan aku, akan menyelesaikan masalah kami sendiri, ini tidak ada hubungannya denganmu. Kuharap kau—"
Kalimat pengakuan dari bibirku terhenti seketika Rio menyodorkan dua buah tiket. Aku membaca sekilas, dua tiket dengan kereta berbeda. Aku mendongak, memandang wajahnya yang tampak tenang.
"Minggu ini aku ingin mengajakmu berkeliling."
"Rotterdam?"
"Dan Groningen."
"Untuk apa?"
"Bertemu kawan lama, dan sekadar melihat-lihat. Apa kau keberatan?"
"Tidak, tapi aku harus bekerja." Aku tidak mungkin izin mendadak.
"Nanti kumintakan izin. Kau dapat beasiswa, Dew. Tak perlu bersikeras mencari uang tambahan."
Nyeri. Di dalam sana, terasa ada yang terluka. Hatiku, tak terima dengan pernyataan Rio. Mataku berembun. Kuseka sudut mata, tak ingin menyanggahnya atau berdebat. Sontak aku mengalihkan pandangan, mencoba mengulas senyum untuk diriku sendiri.
"Simpan tiketmu, aku harus pergi ke kelas."
Kudorong tangan kanan Rio yang masih memegangi tiket itu. Sedikit pun aku tak berniat mengambilnya. Tepat ketika langkah kedua meninggalkannya air mataku jatuh. Aku kecewa atas sikapnya meremehkanku. Rasa-rasanya dia menyamakanku dengan perempuan materialistis yang akan terpikat oleh pemberian lelaki. Lagi pula, apa yang salah jika aku bekerja.
Dia ... Rio, sedikit pun tidak berhak mengatur hidupku. Apa yang aku lakukan sama sekali tak ada hubungan dengan dia.
"Kau membuatku semakin ragu untuk menerima," bisikku lirih.
"Dewi, kau di sini rupanya." Seseorang, yang entah siapa menarik lenganku.
Sontak aku berhenti. Aku menoleh ke samping setelah yakin pipiku tak lagi basah oleh air mata.
"Heii, what happen? What's wrong?" Dia mencercaku dengan pertanyaan.
"Let me go," pintaku lirih.
Gilang melepas cekalan tangannya. Tatapan matanya menelisik, seolah mencari jawaban dariku yang tak ingin buka suara.
"Tell me, what happen?" tanyanya lagi.
Aku menggeleng. "No, I'm fine. I have to go, sorry."
"Dew, hold on. Aku belum selesai bicara."
Kakiku terus melangkah, mengabaikan panggilan Gilang dan langkahnya yang terdengar mengejarku. Tak lama kemudian, Gilang menyusulku menuruni tangga manual.
"Aku belum selesai bicara, tentang obrolan kita kemain."
"Aku sudah. Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan," tegasku berharap dia mengerti. "Kau harusnya tidak berkeliaran di sini, bukankah harusnya kelasmu dimulai bulan Februari mendatang."
"Benar, aku ke sini karena ingin memastikan kau baik-baik saja."
"Namun tidak begitu yang kulihat. Dewi berhenti, berhentilah berpura-pura." Gilang menarik pundakku saat kaki menapak lantai dua. Secara mengejutkan, Gilang berhambur memelukku, erat. Air mataku tumpah seketika menyadari, kenapa ... kenapa hangat sentuhan ini masih terasa sama?
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
HOOP LIEFDE [Sudah Terbit]
General Fiction"Kau memang pemantik, namun hanya hatiku yang terbakar." Ario. Belanda menjadi saksi kisah Dewi dan Ario yang berjuang meraih cita dan cinta. Mampukah keduanya meraih?