"Kau!" Aku menatapnya sengit, tidak percaya. Sungguh kejutan yang datang di waktu tidak tepat.
"Ya, ini aku," ucapnya datar.
Aku mencibirnya. "Apa yang kau lakukan di sini?"
"Mengambil studi master, dimulai bulan depan."
Sulit dipercaya, untuk apa dia mengambil master lagi. Tidak masuk akal, dan dari seluruh kampus di penjuru Eropa, apa tidak ada pilihan lain selain Breda. Menyebalkan.
"Aku harus pergi." Gegas aku balik badan tanpa menunggu responnya. Aku tidak ingin peduli. Aku tidak tahu harus bagaimana menanggapinya. Jika harus jujur, aku tak ingin bertemu dia untuk selamanya.
Aku masuk kelas lagi, dan diskusi tengah berlangsung. Akan tetapi, semua orang tidak tampak terdistraksi dengan kehadiranku. Maklum, sebab baik dosen dan mahasiswa, semua akan terfokus dengan materi dan tak ingin membuang waktu memerhatikan hal lain. Aku terduduk lemas, tak mampu menyimak apa yang sedang dibahas. Mataku terpaku pada layar komputer, sesekali mendengarkan. Sekadar mendengarkan.
Gilang. Dia adalah orang yang membuat tekadku pergi ke Belanda begitu kuat. Bulir bening tiba-tiba mengalir dari sudut mata, gegas aku mengusapnya. Dalam hati bertanya, kenapa dia datang lagi? Di saat aku ... sudah hampir ....
"Dew, kau tak apa?" Samuel menyenggol lenganku singkat saat bertanya.
Aku tersenyum. Anganku berlari mengejar bayangan Rio yang sempat berucap, ada jadwal perencanaan toffler festival pagi ini. Dia bilang tidak belajar di dalam kelas. Laki-laki itu yang memperjuangkan aku sekarang, yang terus berusaha membuatku yakin bahwa dia sangat mencintaiku. Rio, tak bisa kupungkiri ada rasa nyaman ketika aku bersamanya.
Sedangkan Gilang, kilasan peristiwa satu tahun lalu terputar. Malam di mana dengan mudahnya dia bilang hubungan kami berakhir. Tanpa alasan Gilang pergi. Dia melepasku begitu saja setelah sebelumnya, aku berjanji dan bersedia menjalani sisa hidup bersamanya. Berat, tapi aku tak mampu menopan reruntuhan kisah bersama Gilang seorang diri.
Tak lama kemudian, tersiar kabar Gilang bertunangan dengan calon pilihan orang tuanya. Menyakitkan sekali patah hati itu, hingga kini perihnya masih membekas.
Susah payah aku mundur dari harapan dan janji-janji Gilang, memupus mimpi tentang ikatan suci pernikahan. Tanpa Gilang tahu, aku melewatkan kesempatan kuliah di luar negeri dari salah satu perusahaan yang menawarkan beasiswa. Hanya karena dia pernah bilang akan membawaku ke manapun setelah kami menikah. Akan tetapi, aku begitu bodoh memercayai dia begitu saja.
"Dew, kau tak ingin beli sesuatu?" Lagi-lagi Samuel mengejutkanku.
"Eh, tidak. Aku di sini saja." Aku menolak, kelas usai tanpa sedikit pun aku paham apa yang diajarkan. Ya Tuhan, kenapa aku mendadak begini.
Si mata biru tersenyum, beranjak dari kursi. Dia menepuk bahuku sebelum pergi. Aku tak ingin makan atau minum, lebih baik mempersiapkan diri untuk kelas berikutnya. Di pojok komputer ada sebuah email baru. Kubuka yang ternyata dari Samuel, dia mencatat beberapa hal dan mengirimkannya padaku. Seketika aku memandang pintu kelas, senyum mengembang mengingat punggung Samuel yang sudah tak terjangkau pandangan. Dia baik.
Segera aku memasukkan berkas yang Samuel kirim ke arsip catatan. Di kelas tinggal beberapa mahasiswa yang bertahan termasuk aku. Aku mencari headphone, ingin mendengarkan musik untuk menghalau bosan dan bising.
"Dew, apa kami boleh duduk?" tanya seorang mahasiswi sekelasku. Dia menatapku yang kebingungan mengingat siapa namanya. Payah, aku tetap tidak ingat, hanya sering kudengar dia dipanggil, Jolie. Iya, itu panggilannya.
Aku mempersilakan Jolie dan teman perempuannya duduk di bangku depan atau samping, terserah mereka. Teman Jolie memperkenalkan diri, ternyata dia mahasiswi dari pre-Master Leisure and Event. Sama dengan jurusan yang diambil Rio.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOOP LIEFDE [Sudah Terbit]
General Fiction"Kau memang pemantik, namun hanya hatiku yang terbakar." Ario. Belanda menjadi saksi kisah Dewi dan Ario yang berjuang meraih cita dan cinta. Mampukah keduanya meraih?