4

5.4K 699 11
                                    


JOJO tidak menikmati waktunya di sini. Ia menjauh dari lampu disko, mengasingkan diri di bar. Ia tidak berniat meracuni diri dengan Smirnoff atau Jack Daniel's, apapun yang membawa malapetaka untuk karirnya. Jadi ia berkata pada si bartender berkepala plontos itu, "Dry martini. Diaduk dua kali dan lebih banyak perasan lemon. Makasih."

Tidak banyak yang bisa Jojo lakukan di sini. Hura-hura setelah perjalanan melelahkan bukan dirinya. Ia adalah wanita yang tidur telengkup dengan selimut hangat di atas kasur sampai waktu yang ia tentukan sendiri.

Musik berganti, pe-DJ sebelumnya beristirahat dan digantikan DJ baru. Warna dan ritme musik juga berganti, lebih liar, lebih berhasil membuat Jojo tak bisa menikmati martininya.

Malam ini kelab sangat ramai. Jarum jam bahkan belum menunjuk sepuluh malam. Jojo menoleh ke sana kemari mencari mba Nadya yang tadinya ijin ke kamar kecil. Tapi kemudian ia putuskan berhenti mencari karena kalau pun mereka terpisah ia bisa pulang dengan taksi dan meminta mba Nadya mengirim kopernya pulang

Jojo menyesap martininya. Asam...

"Hai," Hiro menyapa, muncul entah dari mana. Pria itu sudah melepaskan dasi. Dua kancing atas kemeja birunya terbuka dan rompi jasnya tetap seperti sedia kala. Tapi ada yang berbeda dari pria itu.

"Lo abis cuci muka ya? Rambut lo sampai ikut basah juga," kata Jojo, melirik rambut Hiro. Seingatnya, rambut Hiro dibandara tadi masih rapi. Potongan rambutnya sendiri memang rapi.

Hiro menyugar rambut, mencoba merapikan. Tapi bukannya tambah rapi, berantakannya makin jadi. Pria itu menyerah, sadar mustahil bisa rapi serapi saat berangkat ke kantor pagi-pagi.

Jojo mengambil kaki gelas martini, tersenyum. Mengamati Hiro sedikit membantu mengalihkan diri dari kebosanan.

"Gue bukan cuci muka. Pas gue balik ke mobil buat ngambil HP yang ketinggalan, di luar lagi hujan, terus gue mampir ke toilet dekat parkiran. Ya gue taruh aja payung gue diluar," Hiro bercerita, "Begitu keluar dari toilet, gue lihat payung gue dipakai orang. Terus gue bilang baik-baik ke Mbaknya yang pakai payung gue kalau itu punya gue." Jojo membayangkan momen itu terjadi. Dengan cara bicara Hiro yang sopan dan lembut, pria itu meminta payungnya dibalikkan.

"Terus? Dibalikin?" Jojo menebak.

Hiro tertawa, "Dia rusakin."

Jojo mengedipkan matanya berkali-kali, "Dirusakin?"

"Depan mata gue."

Jojo tidak mengerti seratus persen letak masalahnya, tapi ia tahu ini akan jadi menarik. Jojo mendongak memandangi Hiro yang masih berdiri. "Terus lo berantem sama Mbak itu?" tanyanya. Bibirnya tak dapat menyembunyikan senyuman.

"Awalnya nggak, gue jelasin baik-baik kalau yang dia akui payungnya dia itu punya gue, tapi Mbaknya malah ngoceh tentang dia beli payung itu mahal di Paris." Hiro tertawa kecil. "Padahal gue yakin banget itu punya gue."

"Lo yakin? Tahu dari mana?" Jojo terkekeh.

Hiro tersenyum pahit, "Yakin. Itu payung sponsor, ada nama dan logo kantor firma hukum kita di payungnya."

Otak Jojo loading, mencerna penjelasan Hiro, sebelum akhirnya tawa Jojo meledak. Ia tertawa terpingkal-pingkal dan nyaris terjungkling ke belakang dari kursi tinggi bar. Lain dari Jojo, Hiro cuman bertolak pinggang. Sambil tersenyum pria itu memandangi Jojo yang tawanya belum mereda.

Hiro yang daritadi berdiri akhirnya duduk. Jojo sudah siuman dari tawanya. Ia melirik Hiro. Ternyata benar, baju laki-laki itu juga basah. Untungnya tidak sampai kuyup.

Ketika Hiro membuka rompi jas, aroma itu datang lagi. Aroma aquatik yang sensual dan sangat kentara dengan morning impresssion. Jojo tidak suka bau parfum keras, terutama yang membuat hidung tersengat. Namun aroma ini bukan jenis parfum seperti itu, karena dari detik ke detik Jojo menemukan dirinya menikmati apa yang indera penciumannya hirup.

JOJOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang