11

4.3K 544 19
                                    


SUDAH lima malam lebih Jojo menginap di hotel. Ia tidak bisa tinggal di apartemennya lagi. Untuk saat ini, Jojo merasa cukup aman hidup di hotel. Ia hidup dengan tentram, nyaman, dan leluasa di sana, walau ia sangat merindukan apartemennya. Dan meskipun pihak apartemen akan memperbaiki dan memberi garansi, Jojo tak akan balik ke apartemen itu lagi. Tidak sebelum Gio si keparat tenggelam di Antartika atau hilang di Segitiga bermuda.

Akan tetapi, sangat disayangkan, mba Nadya sepertinya tak suka dengan gagasan itu.

"Lo mesti balik ke apart, Jo," ujar mba Nadya ketika memberikan Jojo obat tetes mata.

Jojo memutar tutup obat itu dan mendongak, menjentikkan jari agar cairan bening itu menetes ke matanya. "Maksud lo, Mba? Gue harus tetap di apartemen yang cuman Tuhan yang tahu apa yang terjadi waktu gue lagi tidur itu?" balas Jojo sambil memberikan mata kirinya obat.

Mba Nadya mengeluarkan napas berat, "Bukan, maksud gue lo harus beresin barang-barang lo di apartemen, terus angkut semuanya ke rumah lo dan lo tidur di rumah lo."

Mendengar kalimat yang bagai suruhan bunuh diri itu, Jojo membelalakan matanya. Wajahnya turun menatap mba Nadya. Air yang mengalir dari mata karena obat tetes mata hanya menambah efek dramatis di wajah Jojo.

"Watch your mouth, Mba. Mba tahu nggak sih apa yang sebenarnya mba omongin?" tanya Jojo. Ia memang masih marah dengan mba Nadya, tapi rasa marahnya mungkin tak sebanding dengan ketergantungannya dengan mba Nadya. Jojo ingat persis ketika ia bilang hanya akan menganggap mba Nadya sekadar manajer dan selalu manajer baginya. Tapi sejak apartemennya dibobol, Jojo menyadari kalau ia tak akan pernah bisa berhenti merasa bahwa mba Nadya hanya sekadar manajer baginya.

Mba Nadya balas berkata dengan tatapan galak, "Lo kira lo sekaya apa sampai ngarep bisa hidup di hotel bintang lima selama lo hidup? Uang lo cukup untuk beli apartemen baru, tapi gue nggak tau lagi sisa berapa receh uang lo kalau lo tinggal di hotel terus."

Jojo mendecakkan lidah, "Okay, okay, kalau itu maksud lo, gue bisa atur, Mba."

"Atur?" Mba Nadya mengangkat kedua alisnya.

"Aha, gue tahu!" Jojo menepuk telapak tangannya sendiri dengan kepalan tangannya, lalu lanjut berkata, "Gue bisa tinggal di rumah lo, Mba!"

Mba Nadya tercengang, "Hah, lo siapa?" tanya si manajer. "Sadarlah, Jo. Lo gila-edan-sinting-gendeng-sableng atau sarap?!!" Mba Nadya sungguh keheranan.

Jojo melirik mba Nadya dengan ekspresi masam. "Semua sebutan sama aja. Tapi gue pilih 'sinting' aja. Kalau ada yang manggil gue, bisa disingkat jadi 'sisi'. Sounds cool."

"Gue nggak bercanda, Bu Jojo Lopelia, gue nggak punya dan nggak akan ada kemungkinan untuk ngijinin lo tinggal di rumah gue dan suami gue. Plus, nama lo akan gue ubah jadi Jojo Sinting Lopelia kalau menurut lo 'sisi' lebih keren buat jadi nama panggilan lo. Sekian dan sama-sama," celoteh mba Nadya yang langsung melipat tangan dan membuang wajah.

Jojo tahu akan begini. Mba Nadya punya impian untuk hanya hidup bersama mas Evan dan buah hati mereka. Jojo orang luar. Ia bisa mengerti.

Melihat Jojo yang menunduk terlihat sedih, mba Nadya membuka tangannya dan menatap Jojo. Wajah mba Nadya melunak, "Jo, gue minta maaf lo nggak bisa tinggal di rumah gue. Lo bisa ngandelin gue apa aja selain itu. Masalahnya lo bukan sekedar nginep satu-dua minggu, tapi ini 'tinggal'. Lagian Evan pasti nggak ngijinin," terang mba Nadya, tidak enak.

Jojo sangat mengerti, karena itulah ia kecewa. Kalau begitu, ia tak tahu lagi harus tinggal di mana selain di hotel.

"Itulah kenapa, lo mesti balik pulang ke rumah lo, Jo. It's much better then any five grade hotel in the whole world atau rumah gue yang bakal sibuk karena baby gue," Saat mba Nadya menyambung kalimatnya lagi, Jojo seperti mendengar geledek turbo.

JOJOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang