7

4.2K 603 22
                                    


HIRO memperhatikan dengan cermat kedua kakak beradik di depannya. Wajah mereka ada miripnya, namun tak terlihat seperti kakak-beradik. Kulit adiknya lebih sawo matang. Tubuhnya tinggi jangkung. Tapi bukan itu yang menyita perhatian Hiro, ia lebih keheranan melihat luka-luka dan lebam di pipi, hidung, bibir, dan bahkan tangan dan kaki adik laki-laki Jojo itu

"Jadi...." Jojo menyedekapkan tangannya di depan dada, duduk menyender seraya menatap adik laki-laki di seberangnya. "Lo tawuran, ngerebutin cewek, atau apa?"

Kepala adiknya terangkat. Ia memandangi Jojo. "Gue udah bilang lo nggak perlu ke sini. Ini bukan apa-apa."

"Ini apa-apa, Van. Lo udah dewasa. Harusnya lo bisa jelasin ke gue. Si Pak Polisi bilang lo nggak mau ngomong apa-apa selama ditanya, itu kenapa dia manggil gue ke sini." Adiknya tak mengatakan apa-apa lagi, diam membisu.

Jojo melepaskan napas berat, menatap ke atas pada payung besar yang memayungi mereka. Saat ini mereka sedang duduk di depan minimarket terdekat. Orang-orang yang berjalan melewati mereka bukan menatap mereka karena ada Jojo di sini, melainkan karena adiknya, dengan wajah penuh kapas dan perban, yang hanya Tuhan yang tahu apakah membahayakan hidupnya. Tapi Jojo yakin luka itu bukan apa-apa untuk Jovan.

Hiro, yang sedari tadi duduk menengahi mereka hanya diam memperhatikan. Jojo bahkan tidak sadar ia sudah membawa Hiro keliling, mulai dari kantor polisi, rumah sakit, sampai minimarket.

Tahu adiknya tak akan memberitahu meski ia menunggu semalaman di sini, Jojo bangkit berdiri. "Van, terus gimana? Gue mesti nganterin lo ke mana sekarang?" tanyanya.

Hiro mendongak heran. Kenapa Jojo tak berusaha bertanya lebih memaksa pada adiknya? Hiro tahu ini masalah serius, dan terlihat dari luka-luka adiknya bisa jadi akan ada bentrok hukum dari kekerasan itu.

"Lo balik aja. Gue bisa pulang sendiri," Si adik menyahut tenang. Hiro juga sama herannya pada adik Jojo. Setelah merepotkan Jojo jauh-jauh kemari apakah itu balasan si adik? Betapa herannya Hiro sampai ia sendiri tak mau ikut campur urusan kakak-adik itu.

Jojo menendang kaki kursi adiknya. "Lo mau dikira zombie sama orang yang lo lewatin di jalan? Cepat bangun, gue antar lo balik ke apart lo."

Namun adiknya masih bergeming.

"Jovan," Jojo memanggil adiknya. Pandangan Hiro bergantian melirik mereka. "Bangun nggak lo."

"Gue bilang tinggalin gue sendiri," Jovan cepat membalas tanpa melihat Jojo.

"Kalau lo nggak luka gue bisa tenang tinggalin lo di sini, seumur hidup bahkan kalau lo mau. Tapi lo juga lagi emosi. Pikiran lo nggak jernih. Paling nggak, lo bisa menyendiri di kamar lo. Mau nangis jerit-jeritpun silahkan."

Jovan tidak menggubris nasehat kakaknya. Cowok itu bangkit berdiri. Adiknya itu hanya satu inci lebih tinggi dibandingkan Jojo jika ada orang yang bisa memperhatikannya. Tatapan mata Jovan dingin. Sorot matanya tajam pada Jojo. Entah bagaimana mata itu memberi pantulan aneh, seolah mengatakan sebuah pesan.

Hiro mengartikan pandangan itu sebagai kata "pergi!". Setelahnya Jovan berbalik, mengambil langkah pergi.

"Lo nggak bisa nyuruh gue pergi seenaknya!" Jojo berseru. Melihat adiknya yang tak mau berhenti juga, Jojo mendengus. Ia berteriak lagi, "Van, gue udah sampai sini, terus lo nyuruh gue pergi?"

Hiro heran. Hubungan kakak beradik macam apa yang mereka miliki?

Jojo menghampiri Jovan yang belum seberapa jauh. Dengan paksa dan seolah-olah tak akan mendengar kesediaan adiknya, Jojo menyeret kerah kaos di tengkuk laki-laki itu.

JOJOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang