Part 8

2.8K 270 3
                                    

"Oh! Sana.. Masuklah sayang."

Nyonya Jeon yang menyadari kedatangan Sana langsung menggiringnya masuk ke dalam apartment tanpa seizin Wonwoo.

Wonwoo memijat pelipisnya pelan. Jika bisa berteriak, ia akan berteriak sekencang mungkin sampai perasaannya lega. Namun sayangnya hal itu tak bisa ia lakukan. Sejak dulu ia tak terbiasa melampiaskan amarahnya dengan melakukan hal-hal yang biasa orang lain lakukan, seperti berteriak di loteng gedung kosong, pergi minum atau menyewa wanita dan mengajaknya tidur di hotel. Baginya, mengurung diri di kamar sudah cukup. Meski terkadang hal itu membuatnya jatuh sakit akibat memikirkan masalahnya seorang diri.

Sana dan Nyonya Jeon sudah duduk bersebelahan, sedangkan Wonwoo masih berdiri di tempatnya.

"Ada perlu apa kau kesini?", tanya Wonwoo.

"Anakku, jaga bicaramu. Maafkan putraku ya Sana, hari ini suasana hatinya kurang baik..", sahut Nyonya Jeon yang tersenyum sembari mengusap pundak Sana.

Wonwoo sampai tak habis pikir. Saat bicara dengan Sohee, sikap yang ibunya tunjukkan sangatlah berbeda dengan sikapnya saat bicara dengan Sana.

"Tidak apa-apa, Nyonya. Kami baru bertemu beberapa kali saja jadi aku memakluminya.", ucap Sana membalas senyuman Nyonya Jeon dengan ramah.

Wonwoo sudah benar-benar muak melihat drama di depannya. Ia pun kembali ke kamar dengan membanting pintu berharap tak ada seorangpun bisa mengganggunya.

Nyonya Jeon merasa malu sekaligus kesal melihat tingkah anaknya. Citra keluarganya bisa saja tercoreng akibat sikap tak mengenakkan Wonwoo pada Sana.

"Mungkin dia lelah karena bekerja seharian.", kata Nyonya Jeon dengan senyum canggungnya.

"Nyonya tidak perlu meminta maaf. Aku yakin jika suatu saat Wonwoo akan mencintaiku. Bagaimanapun caranya, aku akan berusaha membuatnya jatuh cinta padaku.", balas Sana. Ia menyeringai, kedua matanya menatap pintu kamar Wonwoo yang terkunci rapat.

"Kau benar-benar calon menantu idamanku.", Nyonya Jeon terkekeh sembari merangkul pundak Sana.

-----

Kencangnya dering alarm bersamaan dengan serangan sinar matahari yang menyelinap masuk ke dalam kamar, membuat Wonwoo terbangun dari tidurnya. Dengan kedua mata yang masih terpejam, ia memijat tengkuknya pelan. Kejadian semalam sungguh membuat dirinya kelelahan. Bahkan ia tertidur masih dengan kemeja kerjanya.

Usai mematikan alarm, Wonwoo beranjak dari tempat tidur untuk membersihkan diri. Ia harus bergegas karena ditugaskan ayahnya untuk memimpin rapat pagi ini.

Kemeja putih dengan luaran jas berwarna abu tua dan jam tangan hitam melingkar di tangan kirinya membuat Wonwoo tampak menawan. Ia mengambil dasi dari laci dan hanya mengalungkannya di leher. Selama ini hanya sekretarisnya lah yang biasa memasangkan dasi untuknya. Seulgi bahkan sering mengomeli Wonwoo karena tak pernah mau belajar cara memasang dasi dengan benar. Satu alasan yang selalu Wonwoo katakan adalah terlalu rumit untuk dirinya yang sibuk dengan pekerjaan.

Wonwoo keluar dari kamarnya, seketika merasa lega saat tak mendapati seorang pun berada di apartmentnya. Ia pikir ibunya akan menginap dan mengomelinya seharian soal sikap tak sopannya terhadap Sana. Namun kali ini ia bisa selamat karena sang ibu membatalkan acara menginap di apartmentnya.

Wonwoo menatap jamnya sembari membuka lemari pendingin. Saat menutupnya kembali, ia menemukan selembar kertas kecil dengan tulisan tangan menempel di lemari pendinginnya.

"Segeralah menikah, agar kau memiliki seseorang yang bisa membuatkanmu sarapan."

Tak ada orang lain yang selalu membahas soal pernikahan selain ibunya sendiri. Wonwoo meremas kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah.

Daddy! ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang