27. Obsession

5.2K 507 113
                                    

Vivian Liem, menggenggam geram ponselnya setelah melihat beberapa foto yang dikirimkan oleh seseorang. Rahangnya mulai mengeras, matanya menatap marah pada pantulan dirinya di cermin besar.

Iya. Wanita itu terlihat marah. Vivian sangat marah.

Dengan rasa amarah yang sudah tidak bisa dipendam, ia melampiaskan dengan membanting semua peralatan make up di depannya. Hingga meja rias yang tadinya penuh itu kini bersih. Semuanya jatuh tak tersisa di lantai kamarnya.

Vivian terlihat sangat geram dengan foto yang dilihatnya. Kini ponselnya pun ikut terbanting dan remuk di ujung kamar. Tak cukup dengan itu, beberapa buku dan frame foto yang tadinya tertata rapi di rak kayu, kini berserakan di atas lantai.

Setelah puas melampiaskan amarahnya dengan menjadikan kamarnya seperti kapal pecah, Vivian terduduk di tepi ranjang dengan napas tersengal.

Meskipun ponselnya sudah tak hidup lagi, ia masih bisa dengan jelas mengingat foto-foto yang dikirimkan orang suruhannya tadi. Foto-foto yang di dalamnya adalah kegiatan Jerome sehari-hari itu berhasil memuncakkan emosinya. Beberapa foto itu menunjukkan bahwa Jerome dan Chelsea sempat bermesraan di sebuah pusat perbelanjaan.

"Brengsek!"

Vivian mengepalkan tangannya sambil mengumpat. Ia sungguh tidak suka dengan isi foto yang dilihatnya tadi. Ia masih menganggap bahwa Jerome adalah miliknya.

Selama ini ia agak tenang karena mengira Jerome tidak benar-benar menyukai Chelsea. Tapi melihat foto-foto tadi, Vivian tahu apa yang sudah terjadi pada mereka. Jerome telah menaruh hati pada Chelsea.

Seorang Vivian Liem, tentu tidak akan membiarkan itu semua terjadi. Ia tidak ingin dirinya kalah dengan wanita yang belum ada satu tahun mengenal Jerome. Vivian merasa ia lah yang lebih pantas untuk Jerome dibandingkan Chelsea.

Dengan mantap Vivian bangkit dari duduknya, memungut sebuah lipstick berwarna merah, lalu memakainya dengan tegas. Rambut berwarna cokelat bergelombang itu dirapikan lagi, lalu diambilnya jaket kulit berwarna hitam dari lemari untuk menutupi bahunya yang terbuka karena dress mini super sexy yang ia pakai.

Dengan langkah angkuhnya Vivian berjalan keluar dari kamar menuruni anak tangga rumahnya. Ia harus bergegas pergi untuk melakukan sesuatu. Vivian tidak boleh kalah dengan wanita seperti Chelsea.

"Vi,"

Sesampainya ia di lantai dasar rumah mewahnya, kakinya tiba-tiba terhenti. Seseorang berjalan menghampirinya dengan rupa yang terlihat rapuh.

"Mau kemana?" tanya pria yang rambutnya sudah mulai tipis dan berwarna putih itu.

"Cari udara segar."

"Dengan mabuk-mabukan dan menari di klub seperti orang gila?"

"Aku memang gila."

"Itu hanya akan merugikan dirimu sendiri."

"Lalu?"

"Vi, hentikan,"

Vivian mengangkat tangannya ke udara untuk menghentikan papanya berbicara.

"Jangan nasehati aku. Memang sejak kapan Papa peduli sama aku? Urus saja hidup Papa sendiri yang udah hancur." Vivian melemparkan pandangannya ke arah lain. "Memangnya aku begini karena siapa? Aku butuh sesuatu yang bisa membuat aku bahagia. Hidup sebagai putri dari seorang koruptor dan ibu yang dicap sebagai pelakor, menurut Papa gimana? Apa Papa kuat jika menjadi aku?"

"Vi,"

"Aku stres, Pa! Hidup penuh gunjingan dan olokan dari orang-orang. Aku ingin mati, jika saja saat itu Jerome tidak mencegah aku bunuh diri!"

Perfect Strangers (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang