28. Welcome To The World

5.3K 528 119
                                    

Jerome baru saja menyalakan ponselnya yang dari tadi malam belum sempat ia nyalakan. Begitu layar ponsel berukuran 6 inch itu menyala, puluhan pesan masuk dan sebuah panggilan dari Julian langsung menyapanya.

"Jer, lo gak lupa kan kita ada meeting hari ini?"

"Enggak. Gue lagi diperjalanan."

Jerome menutup panggilan Julian secara sepihak. Lima belas menit lagi rapat dimulai, dan ia masih terjebak di tengah jalanan ibukota yang padat merayap.

Jika terus seperti ini, ia akan sampai di kantor 30 menit lagi. Sudah dapat dipastikan bahwa ia akan terlambat. Jerome mulai panik, karena rapat kali ini sangat penting dan ia harus tepat waktu.

Sepuluh menit lagi, Jerome melirik arloji di pergelangan tangannya dengan gusar. Bahkan sang supir pun juga ikut panik karena si bosnya.

Saat mobil Jerome sudah bisa melaju, bertepatan dengan itu ponselnya kembali berdering nyaring. Diambilnya ponsel dari saku jasnya, kemudian ia jawab tanpa melihat siapa nomor yang menghubunginya itu.

"Halo."

"Jerome! Lo dimana?"

Jerome mengerjap, ia kira Julian yang menghubunginya, tapi ini bukan suara Julian. Suaranya tidak asing, dan ia mengenalnya. Jerome menjauhkan ponsel dari telinganya dan melihat layar ponselnya untuk melihat nama siapa yang tertera di sana.

"Lon? Kenapa?"

"Balik ke apartemen!"

Suara Lona mengeras, diiringi dengan suara derap langkah cepat yang beradu dengan napas yang tersengal.

Jerome mengernyit tak mengerti. "Gue lagi di jalan ke kantor. Kenapa?"

"CEPETAN BALIK BANGSAT!"

Lona tidak sendiri, dan teriakan keras barusan yang ia dengar adalah suara Bara. Jerome belum tuli, dan ia sangat familiar dengan suara berat itu.

Kening Jerome berkerut hingga alisnya bertautan. Apa yang sebenarnya terjadi?

"Vivian ada di apartemen lo!"

Pada detik itu juga jantung Jerome langsung mencelos. Kedua matanya membulat penuh, dan segera berteriak ke Supri untuk menghentikan laju mobilnya. Kini ia lebih panik dari sekadar takut telat menghadiri rapat penting perusahaannya. Vivian terlalu berbahaya, dan ia takut hal buruk terjadi pada Chelsea.

Di tengah padatnya jalanan, Jerome menyuruh Supri untuk memutar balik mobilnya. Akan tetapi sepertinya mustahil ia bisa kembali ke apartemennya dalam waktu kilat. Jerome semakin panik. Mobil Mercedes Benz yang full AC itu tak lagi dingin. Keringat Jerome mengucur dari pelipisnya, ia merasa sesak.

Berkali-kali ia mencoba menghubungi ponsel Chelsea, tapi tak ada jawaban sama sekali. Hal itu semakin membuatnya menggila.

Jerome memutar otaknya agar bisa sampai ke apartemen dengan cepat. Persetan dengan rapatnya pagi ini, nyawa Chelsea dan anaknya jauh lebih berharga dari segalanya.

Maka keluarlah Jerome dari mobil meninggalkan Supri di dalam. Ia berlari cepat ke seberang jalan, menerobos kemacetan lalu lintas saat ini. Dengan paniknya ia menghampiri seseorang yang sedang duduk santai di atas motor sambil menyedot segelas es teh dengan nikmat. Entah itu tukang ojek atau bukan, Jerome membuka dompetnya dan menyodorkan uang ratusan ribu sebanyak lima lembar.

"Pak, bisa antar saya pulang dengan cepet?"

Sang pria tua bermotor itu mengerjap kaget melihat seseorang menyodorkannya uang sebanyak itu. Tanpa berpikir panjang, pria tua itu langsung menyalakan mesin motornya dan meminta Jerome segera naik, ㅡtak peduli es teh yang dibelinya masih sisa setengah gelas.

Perfect Strangers (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang