Chapter 10

905 52 6
                                    

Kyla harus merapihkan dirinya kembali karena menangis hampir satu jam. Dan karena dirinya juga semua teman-temannya harus mengundur waktu perjalanan mereka ke villa. Dan sekarang mereka sudah sampai di villa Alexa tepat saat matahari terbenam. Villa yang berada di daerah Bogor dan jauh dari kota. Mereka sengaja pergi ke sana untuk membuat Gita merasa lebih baik. Kondisinya sangat mengkhawatirkan. Gita bisa menyakiti dirinya sendiri dan berteriak sampai pingsan. Dokter hanya mengatakan kalau Gita dalam keadaan depresi berat, dia membutuhkan waktu untuk mengembalikan kesadarannya. Tempat yang tenang dan yang pasti jauh dari bajingan itu.

Gita masih saja diam dari pukul dua belas siang mereka sampai di sini. Gita sama sekali tidak ikut berbicara atau pun bergabung. Dia hanya menatap ke jendela yang mengarah pada halaman. Ketenangannya sangat membuat ketiga temannya merasa khawatir. Satu persatu mencoba mengajak Gita bicara, namun satu kata pun tak ada yang keluar dari bibirnya. Mereka menghindari obat penenang yang dokter berikan, karena mereka tahu Gita tidak gila. Dia masih waras. Hanya saja dia masih terlalu shock dengan apa yang menimpa dirinya.

Kyla menggenggam tangan Gita yang terasa dingin dan bergetar," Gue tau lo sadar, lo hanya menutup diri lo karena keterpurukan lo. Rasa yang lo rasain itu pasti berat banget. Kalau lo aja kayak gini, gimana nanti gue bisa tegar saat gue bener-bener hancur?" ucap Kyla. Dia dia beberapa saat, lalu kembali berucap," Gue seakan nunggu waktu untuk dieksekusi. Gue nunggu waktu dimana gue bakal mati. Kalau lo aja kayak gini, apa gue harus bunuh diri karena gue juga gak sanggup jadi kayak lo." Ucap Kyla. Perlahan Kyla memeluk Gita dan menangis.

"Gue juga takut Git dan orang yang gue takutin itu adalah orang yang gue sayangin. Di saat orang-orang memiliki kekasih untuk ngejaga mereka, tapi orang yang gue sayang bakal dorong gue ke jurang," Tambah Kyla. Tangisannya semakin tak bisa tertahan. Membuat Lexa dan Fanya yang memperhatikan keduanya pun menangis.

Detik awal tidak ada respon sama sekali dari Gita. Namun perlahan gadis itu berbalik menatap Kyla, tangan Gita pun terulur dan merengkuh tubuh Kyla. Dia pun menangis karena kehancuran temannya. Fanya dan Alexa mendekati mereka dan duduk di bawah sofa keduanya," Lo berdua belum hancur, masih ada masa depan buat kalian. Mungkin masa depan akan lebih baik tanpa cowok-cowok bajingan itu." Ucap Alexa. Keduanya hanya mengangguk dengan ucapan Alexa dan tersenyum.

"Daripada kita nangis-nangis gak jelas, mending kita siap buat bakar-bakar," Ucap Fanya. Semua teringat dengan rencana mereka untuk membuat barbeque malam ini. Semuanya menghapus airmata mereka dan mulai beranjak dari sofa. Gita masih terlihat tidak melakukan apapun, namun Lexa dan Fanya sudah lebih dulu beranjak dan diikuti Kyla.

"Bahan-bahannya udah siapkan semua kan, Fan?" Tanya Alexa, Fanya mengangguk, lalu beranjak ke dapur. Bibi sudah mempersihkan daging, sayuran bahkan buah-buahan. Mereka juga membawa beberapa kaleng bir untuk menemani malam ini.

Di saat Kyla, Lexa dan Fanya sedang sibuk di dapur, tiba-tiba saja satu suara membuat mereka menoleh," Gue boleh bantu?" Ketiganya saling tatap saat melihat Gita yang seakan baru kembali dari perjalanannya. Lexa merangkul Gita dan Mereka menghabiskan waktu, memasak dan menyiapkan barang-barang. Sesekali mereka juga bercanda dan tertawa. Menutup semua kesedihan yang mereka rasakan. Ada kala kata tak terucap, kesedihan tak terungkap, dan kemarahan hanya bergolak dalam kepala. Namun sahabat, mereka datang mencairkan rasa duka. Menanamkan kasih sayang, dan menghilangkan airmata.

****

Kyla memasuki apartemen Ramond, dia menghubungi kekasihnya untuk menginap di vila Alexa selama dua hari. Namun tidak ada kabar dari Ramond, dia tidak memberi kabar apapun selama Kyla pergi. Pintu apartemen tidak ditutup, Kyla berjalan masuk dan mendapati ruang tengah yang berantakan. Suara-suara aneh terdengar dari kamar Ramond. Entah kenapa, ada rasa takut di hati Kyla, hatinya seakan menyuruhnya tetap di tempat atau pergi. Tapi langkahnya tetap berjalan, melebarkan pintu kamar Ramond dan dia melihat sesuatu yang ia takutkan.

Kekasihnya membawa seseorang ke dalam kamarnya. Mereka belum sepenuhnya telanjang. Tapi sudah cukup terbuka dengan kaos dan bra si cewek yang sudah terlempar di bawah kaki Kyla.

" Kyl... gue kangen lo, gue menginginkan lo," Suara parau Ramond terdengar miris. Laki-laki itu mabuk dan menginginkan tubuhnya. Sebegitu Ramond menginginkannya, kah? Sehingga dia menjadikan wanita lain, hanya untuk membayangkan Kyla lah yang berada bersamanya.

Kyla mendobrak pintu membuat kedua makhluk itu menyadari kehadirannya. Si cewek terlihat tidak mempedulikan kehadiran Kyla, berbeda dengan Ramond yang terlihat panik. Lelaki itu melepaskan pelukannya pada si cewek dan berucap," Pergi, entar gue transfer." Si cewek hanya mendengus kesal. Cewek itu hanya mengambil kaos dan branya yang berada di bawah kaki Ramond. Dengan kesal dia berjalan keluar, melewati Kyla yang masih berdiri di depan pintu. Airmatanya seakan sudah kering untuk menangis. Dia hanya menatap Ramond yang perlahan berdiri dan menatapnya.

"Kalo gak mau pacarnya main sama yang lain, jangan ditinggalin terus," Ucap cewek itu. Lalu berbalik dan tersenyum sensual pada Ramond, lalu berucap," Gue tunggu panggilan lo lagi, Beb." Ucapnya. Melihat Ramond tak mengacuhkannya, cewek itu pergi dari apartemen dengan bantingan pintu yang keras.

Ramond berjalan mendekati Kyla, ia terlihat bingung dan panik," Kyl, ini gak..." Perkataan Ramond terpotong karena ucapan Kyla.

"Siapa gue? Gue cuma cewek yang numpang di rumah lo, atau tepatnya gue cewek yang lo bayar. Gak ada hak untuk gue marah." Tiba-tiba, Kyla melepaskan kancing kemejanya satu persatu. Dia membuang kemeja itu ke lantai dan mendekati lelaki yang berdiri tak berkutik. Hanya menatap apa yang Kyla lakukan.

Ramond tidak munafik itu adalah yang paling diinginkannya. Tapi dia tidak ingin melakukannya. Selain karena janjinya juga karena wajah Kyla yang lagi-lagi terluka karenanya. Ramond tidak tahu, kapan dia bisa menjadi seorang pria untuk wanitanya. Bukan bajingan yang selalu membuat airmata terjatuh dari pelupuk mata indah itu.

"Kenapa? Bukannya ini yang lo mau?" Kyla mendekati Ramond, ia berjinjit dan dengan berani mencium Ramond sebisanya.

"Apalagi yang kurang? Kenapa lo gak bales ciuman gue?" ucap Kyla dengan suara serak.

"Maaf, gue gak seahli cewek tadi, nanti gue belajar untuk lebih bisa muasin lo." tambahnya lagi. Kyla kembali mendekati Ramond dan menciumnya sebisanya. Ramond berusaha untuk melepaskan ciuman Kyla, namun cewek itu memeluk bahunya erat. Rasa dingin terasa di bibir Ramond ada yang jatuh dari mata gadis itu.

Ramond menarik kedua lengan Kyla dan menjauhkannya. Ia mengambil selimut dan menutupi tubuh Kyla yang terbuka. Lalu berucap," Gue emang menginginkan lo. Sangat! Tapi gue ingin lo melakukannya karena keinginan dan tanpa ada airmata." Ramond membawa Kyla pada pelukannya. Tangisannya terdengar kosong tanpa suara. Seakan memberitahu padanya kalau dia sangat terluka.

"Gue bisa main sama siapa aja, tanpa peduli mereka suka atau gak. Tapi gue gak bisa ngelakuin itu ke lo, karena gue cinta sama lo dan gue ingin kita melakukannya karena kesadaran bukan keterpaksaan," Kyla masih terdiam. Dia tidak tahu apa yang dia pikirkan. Kata-kata Ramond menunjukan kalau dia akan terus menyakitinya dan terus berhubungan dengan pelacur-pelacur itu. Ramond merebahkan Kyla di kasur dan mencium keningnya.

"Gue ada di depan kalau lo butuh gue." Ucap Ramond. Kyla tak berucap apapun, dia semakin meringkuk dan menangis tanpa suara. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan untuk saat ini.

Melihat dan mendengar adalah dua hal yang berbeda. Dan memiliki rasa sakit yang berbeda pula. Selama ini Kyla hanya mendengar Ramond tidur dengan cewek-cewek sialan itu. Kyla merasa sakit, tapi itu hanya sebuah emosi. Tapi sekarang dia melihatnya sendiri, rasanya dia ingin mati. Kyla lelah di kecewakan, sekali saja dia ingin Ramond bisa mencintainya, tanpa ada napsu yang harus dipuaskan. Kyla meringkuk di kasur, rasa sakitnya seakan menusuk dadanya. Dia mencengkram dadanya yang terasa sesak, sedangkan tangisannya masih sama. Hanya sebuah bisikan pelan yang sulit dia lepaskan.

Dari luar Ramond hanya menatap Kyla yang hancur. Lagi-lagi dia menjadi alasan Kyla menangis. Ramond menghela napas, dia kembali keluar dan merebahkan tubuhnya di sofa. Matanya terpejam namun kepalanya terus berputar. Satu pertanyaan berputar di kepalanya, bagaimana caranya membuat Kyla bahagia tanpa perlu membuatnya menangis. 

BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang